Tidak Mudik, Tidak Berdosa
Pemerintah menetapkan larangan mudik di mulai 6 -17 Mei 2021. Polemik pro kontra pun muncul. Alasan utama pelarangan mudik adalah adanya potensi berkembangnya virus Covid19 yang masif karena pergerakan dan kerumunan massa dalam jumlah besar. Seberapa pentingkah mudik dalam Islam ? Benarkah mudik adalah tradisi Islami ?
Jakarta – (20/04/2021). Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira, bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr. Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan, pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang. Pada hari lebaran misalnya, lembaga pegadaian menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin berhutang. Semua berlomba dengan berbagai cara agar dapat mudik.
Makna Mudik
Secara bahasa, mudik artinya (1) (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman); (2) pulang ke kampung halaman (KBBI ). Mudik seolah menjadi sesuatu yang wajib. Tradisi mudik merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia. Demi mudik, kita rela meluangkan waktu berjam-jam, berhari-hari, mungkin juga berminggu-minggu, untuk menempuh perjalanan jauh agar dapat menemui orangtua dan kerabat di kampung halaman atau tanah kelahiran. Demi mudik, kita rela menempuh jerih-payah perjuangan dalam antrean panjang berjam-jam, bahkan berhari-hari, demi tiket Kereta Api atau bus.
Pemudik rela pula –atau terpaksa— berdesakan dalam kendaraan, tersiksa dalam perjalanan, bersabar –atau berkeluh-kesah— dalam kemacetan arus lalu lintas, bahkan terkesan kurang mempedulikan keselamatan.
Seolah-olah semuanya tidak berarti dibandingkan dengan kegembiraan merayakan “hari kemenangan” setelah berpuasa Ramadhan, keriangan akan berjumpa dengan sanak keluarga dan teman masa kecil, menikmati kembali suasana damai masa kecil dan suasana “alami” kampung halaman.
Mudik Tak Ada dalam Islam
Dalam ajaran Islam, tidak ada perintah (wajib) atau sekadar anjuran (sunah) untuk mudik, dalam pengertian pulang ke kampung halaman saat lebaran.Jadi, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena tidak ada satu perintah pun baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.Namun demikian, mudik sangat baik dalam konteks silaturahmi sebagaimana ajaran Islam.
Makna Mudik
Secara bahasa, “mudik” artinya “menuju udik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1988), “udik” antara lain berarti desa, dusun, kampung (lawan kota). Karena itu, mudik disebut pula “pulang kampung”. Jika ditelaah lebih dalam, ada makna yang sangat mendalam dari tradisi mudik ini, yakni semangat “kembali ke asal” (fitrah). Secara psikologis, “udik” (kampung halaman) adalah tempat, ruang dan waktu yang masih murni, bersih, religius, dan belum dikotori oleh polusi peradaban materialis kota.
Ketika kita mudik, kita akan merasakan kedamaian suasana udik, kampung halaman asal kita, jauh dari “kejamnya” kehidupan di kota. Kota adalah tempat kerja, mencari uang, mengejar cita-cita duniawi, berupa kekayaan ataupun popularitas dan jabatan. Ketika semua diperoleh, “udik” memanggilnya untuk memberikan kedamaian dan ketenangan. Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dalam bukunya ”Sedang Tuhan pun Cemburu” (1994) menulis, orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya..
Mudik Abadi
Mudik sebenarnya mencerminkan kerinduan kita, manusia, yang luar biasa pada asal- muasalnya. Karena asal-muasal kita yang hakiki adalah Allah Swt, maka mudik ini sebenarnya merupakan sebuah bentuk kecil dari kerinduan kita yang luar biasa kepada Allah Swt.Pada gilirannya nanti, kita pun akan melakukan “mudik” yang abadi, meninggalkan dunia ini, kembali ke hadirat Ilahi.
Dengan mudik, kita sudah merasakan keindahan kembali ke tempat asal (kampung halaman). Demikian pula “mudik” kepada fitrah, yakni iman-Islam, jiwa tauhid, atau syariat Islam sebagai pedoman hidup. Islam adalah “kampung halaman” kita, tempat kita menikmati dan menjalani hidup sesuai dengan aturan Allah Swt.Semoga perjuangan berat menuju mudik, kita lakukan pula dengan ikhlas untuk “mudik abadi” menuju alam akhirat, asal-muasal kita, yakni Allah Swt. Jika untuk mudik ke kampung halaman kita rela berkorban apa saja, maka demikian pula hendaknya ketika kita “mudik” ke hadirat Allah Swt kelak. Kita harus rela berkorban jiwa dan harta, tenaga dan pikiran, demi tegaknya syariat Islam, agar saat kita “mudik” ke tempat asal kita, yang memiliki kita, yakni Allah Swt, kita diterima di sisi-Nya.
Begitulah seharusnya mudik dimaknai dan kalau dilihat uraian lengkapnya, maka sejatinya mudik bukanlah sebuah kewajiban yang diajarkan Islam. Kalau tujuan silaturahim betul harus dilakukan. Namun pelaksanaannya tidak harus bertepatan sesudah puasa Ramadhan yang menjadi salah kaprah bahwa puasa Ramadhan harus diakhiri atau ditutup dengan mudik. Bagaimana dengan mudik di masa Pandemi ini ? Tentu sangat tidak dianjurkan karena berpotensi merebaknya virus berbahaya ini. Alangkah bijaksana bila kita tidak mudik saat pandemi karena menilik penjelasan di atas, tidak mudik , tidak berdosa, tidak kehilangan pahala sedikit pun dan tak ada satupun amalan yang tertinggal.
Larangan mudik 2021
Melihat potensi perebakan covid19 di masa libur lebaran, Pemerintah resmi melarang mudik Lebaran 2021. Larangan mudik ini berlaku pada 6 hungga 17 Mei 2021. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, pelarangan mudik Lebaran 2021 ini untuk mendukung program vaksinasi Covid-19 yang masih berlangsung. “Sehingga vaksinasi bisa menghasilkan kesehatan maksimal. Aturan yang menunjang akan diatur kementerian terkait,” ujarnya dalam Konpers daring.
Adapun keputusan larangan mudik Lebaran 2021 tersebut dihasilkan dari rapat tiga menteri. Larangan ini bukan hanya berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN, tetapi juga pegawai swasta. “Ditetapkan tahun 2021 mudik ditiadakan, berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, swasta maupun pekerja mandiri juga seluruh masyarakat,” jelas dia. Ia juga memastikan akan ada pengawasan ketat mendekati hingga setelah hari raya untuk memastikan penerapan larangan tersebut, “Pengawasan dari TNI, Polri, Menhub dan Pemda,” ujarnya. Meski demikian, lanjutnya, cuti Lebaran satu hari tetap berlaku namun dengan catatan tidak ada aktivitas mudik.
“Cuti bersama Idul Fitri satu hari tetap ada, namun tidak boleh ada aktivitas mudik lebaran. Lalu bansos akan disesuaikan waktunya. Mekanisme pergerakan orang dan barang akan diatur,” tandasnya. Sebelumnya, pemerintah masih mengkaji soal mudik lebaran 2021. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menargetkan keputusan final soal mudik lebaran sudah ditetapkan sebelum Ramadan.
“Kemenko PMK belum selesai membuat kajian. Mudah-mudahan sebelum puasa (keputusan final mudik lebaran),” kata Muhadjir.
Adapun Kemenko PMK ditugasi Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan kajian untuk kegiatan arus mudik pada libur Lebaran Idul Fitri 2021. Muhadjir memastikan pihaknya akan menampung usulan dan pendapat dari semua pihak terkait mudik lebaran 2021. “Semua usulan dan pendapat terbuka untuk dijadikan bahan pertimbangan,” ujar dia.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memproyeksi terjadinya lonjakan penumpang yang menggunakan transportasi darat, laut maupun udara pada mudik lebaran tahun ini. Menhub bilang, lonjakan ini terjadi karena beberapa hal, mulai dari adanya vaksinasi hingga pajak mobil mewah 0 persen. “Program vaksinasi membuat masyarakat ingin bepergian. Lalu juga PPnBM 0 persen dan penggunaan tes GeNose,” ujar Menhub dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI.
Dalam paparan Menhub, tercatat penumpang angkutan darat seperti bus diproyeksi menurun dari 4,19 juta menjadi 2,57 juta penumpang atau turun sekitar 38 persen berbanding dari tahun 2019 silam. Sementara, angkutan penyebrangan seperti ASDP Ferry diperkirakan mengalami lonjakan yakni dari 4,40 juta menjadi 4,49 juta penumpang atau sekitar 2 persen.
Lalu angkutan perkeretaapian turun 59 persen, angkutan udara turun 60 persen dan angkutan laut turun 50 persen.
Menhub sendiri membeberkan, tidak akan ada larangan mudik lebaran untuk tahun ini. Kendati pihaknya akan menyiapkan pelaksanaan mudik yang lebih ketat dan memfokuskan tracing terhadap mereka yang hendak bepergian. “Oleh karena itu protokol kesehatan harus terus ditegakkan selama arus mudik lebaran. Kita juga antisipasi terhadap bencana alam dan kondisi cuaca,” ujar Menhub.
Potensi peningkatan kasus Covid-19
Sebelumnya, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menilai libur panjang berpotensi menimbulkan peningkatan kasus Covid-19. Hal tersebut, kata Doni, berkaca dari libur panjang tahun baru pada akhir 2020. Kala itu, angka kasus positif Corona melonjak naik pasca liburan. Bukan hanya itu, rumah sakit juga penuh dan angka kematian meningkat.
“Jadi ini kan hasil evaluasi. Di sini sudah tahu, terakhir itu liburan panjang tahun baru. Apa yang terjadi kasus aktifnya luar biasa. Kasus aktif tinggi kemudian RS penuh, dampak RS penuh angka kematian meningkat. Angka kematian pada Desember 2020, 250 orang per hari rata-rata,” tutur Doni di DPR Jakarta baru-baru ini. Doni melanjutkan, soal libur lebaran atau mudik akan dikaji oleh Kemenko PMK. Namun, dia tetap berpegang pada pendapatnya jika libur panjang akan menyebabkan kasus Corona tinggi.”Saya selaku kepala satgas tentu akan memberikan masukan bagaimana pengalaman kita semuanya setiap akhir libur panjang pasti dilanjutkan dibarengi dengan peningkatan kasus aktif. Menambah angka kematian, menambah jumlah korban para dokter,” jelas Doni.
Jangan jadi macan kertas
Dilihat dari persiapannya, strategi pemerintah dalam pengelolaan mudik Lebaran kali ini lebih matang ketimbang pada 2020. Regulasi, koordinasi atau rencana aksi tampak lebih rapi dan presisi. Lewat Surat Edaran (SE) Nomor 13/2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah, pemerintah berharap masyarakat patuh. Harapan besarnya, lewat surat edaran ini, penyebaran virus Covid-19 bisa lebih dikendalikan.
Hukuman bagi pelanggarnya pun tak ringan. Mereka yang nekat menerobos pintu penyekatan akan dijerat dengan UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ancaman maksimal hukumannya merujuk Pasal 93 adalah kurungan satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta. Ini tak berlebihan. Sebab, pemerintah pasti telah belajar banyak dari pengalaman tahun lalu, kala aturan larangan mudik nyatanya tak banyak berfaedah. Meski penyekatan telah dilakukan, faktanya ada puluhan ribu pemudik tetap bisa lolos. Bahkan, saat arus balik tampak di sebuah ruas tol petugas mengatur arus sedemikian rupa agar perjalanan tak memicu kemacetan.
Adakah sanksi bagi para pemudik ini? Tidak. Kok bisa? Itulah realitasnya. Saat itu regulasi pelarangan mudik sudah ada, penyekatan juga dilakukan di sana sini. Tapi ternyata tak mudah membendung gelombang mudik yang cukup besar. Toh, meski terbilang masih besar, pada 2020 itu orang Jakarta dan sekitarnya, khususnya yang mudik, sebenarnya menurun sangat drastis dibanding kondisi normal. Namun, deklinasi ini bukan lantaran semata-mata patuh akan regulasi larangan mudik. Mereka tidak mudik karena memang enggan keluar rumah. Rasa takut akan terpapar virus korona masih sangat tinggi. Mereka rela berdiam diri di rumah berhari-hari demi menyelamatkan keluarga inti.
Kini tantangan yang dihadapi jelas sangat berbeda. Ketakutan publik akan korona tak sekuat tahun lalu. Seiring waktu mereka makin memiliki pemahaman dan kesadaran tinggi akan Covid-19. Apalagi banyak warga juga telah mendapatkan vaksinasi. Tidak dapat dimungkiri, sebagian masyarakat menganggap vaksinasi adalah modal kuat bagi tiap individu untuk memiliki kekuatan yang ampuh melawan datangnya virus korona. Mereka juga yakin, semakin banyak orang mendapatkan suntikan vaksin, kekebalan bersama (herd immunity) akan terbentuk. Dengan asumsi ini, ketakutan terhadap paparan Covid-19 tak perlu dilebih-lebihkan lagi.
Perubahan-perubahan cara pandang publik terhadap Covid-19 ini mampukah diantisipasi lewat regulasi? Jawaban ini tentu butuh pembuktian. Namun, melihat tantangan yang kian kompleks di lapangan, pencegahan mudik tahun ini hakikatnya semakin tak ringan. Ada beberapa poin yang patut menjadi perhatian pemerintah melalui stakeholder-nya agar regulasi mudik tak seolah jadi macan kertas lagi. Selain masyarakat tak terlalu takut lagi dengan virus korona, pada persoalan teknis, regulasi ini banyak memiliki sisi kelemahan. Aglomerasi sebagai jalan tengah menghadapi susahnya mengendalikan pergerakan masyarakat di suatu wilayah pun tidak sesederhana yang terpotret di dalam peta.
Justru, jika tak hati-hati, kebijakan aglomerasi ini akan menjadi pintu utama jebolnya kasus baru Covid-19. Hal ini tak berlebihan karena ketika aglomerasi ditetapkan maka sejatinya pada saat yang sama pelonggaran diberlakukan. Di sisi lain, di antara kawasan yang masuk aglomerasi ini justru masih memiliki angka kasus baru yang relatif tinggi. Jabodetabek, Semarang Raya, Yogyakarta Raya, dan Surabaya Raya misalnya. Siapa yang bisa menjamin, pelonggaran ini tak akan memicu kasus baru? Apalagi di daerah, mafhum kita temui umumnya masyarakat tak terlalu peduli dengan virus ini lagi. Kerumuna di jalan, di pasar, atau di tempat ibadah bisa menjadi banyak bukti.
Di sisi lain, publik pun seolah kenyang pengalaman dengan kebijakan pemerintah. Mereka bukan lagi takut, tapi bagaimana menyiasati regulasi yang ada itu. Aturan larangan mudik mulai 6-17 Mei, misalnya, bukanlah harga mati bagi calon pemudik. Mereka semakin rileks karena toh bisa pulang ke kampung halaman sebelum aturan itu benar diterapkan. Peluang ini makin terbuka manakala sistem kerja di rumah (work from home) masih banyak diterapkan di sejumlah instansi atau perusahaan.
Sangat mungkin regulasi baru ini akan efektif menyasar para aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, atau sebagian buruh pabrik. Tapi melihat persentasenya, jumlah mereka masih kalah banyak dengan pekerja informal yang ada. Masalah lain yang membuat regulasi ini semakin mendapat banyak tantangan adalah kemampuan pemerintah menyediakan petugas yang bisa berjaga 24 jam dan di semua titik jalur, termasuk jalur tikus. Lagi-lagi berpijak pada pengalaman tahun lalu, tak mungkin mereka menjaga semua pintu keluar daerah itu. Apalagi tanpa sokongan anggaran yang memadai, mereka umumnya bekerja hanya sepotong dari waktu itu. Sangat mungkin tujuan mereka yang penting bisa untuk dilaporkan ke atasan. Regulasi larangan mudik bukanlah harga mati. Untuk bisa berjalan efektif, butuh keseriusan pemerintah mengendalikan semua lini.
Keseriusan Polisi
Guna menjamin kebijakan larangan mudik ini terlaksana, Polri pun bergeas menggelar kegiatan sekaligus menunjukkan keseriusan Polri mengawal kebijakan ini agar tidak berhenti di meja atau hanya menjadi ”macan kertas.” Sebagai contoh, baru-baru ini Korlantas Polri menggelar Operasi Keselamatan sejak 12 hingga 25 April mendatang. Operasi Keselamatan ini dalam rangka sosialisasi peniadaan mudik lebaran 2021. “Operasi Keselamatan menyasar masyarakat agar mereka mengurungkan niat mudik lebaran. Diharapkan sosialisasi ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat.” jelas Kakorlantas Polri Irjen Pol Istiono.
Irjen Pol Istiono juga mengatakan Operasi Keselamatan salah satunya untuk sosialisasi terkait peniadaan mudik dan kita akan gencar mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudik, baik sebelum, ketika peniadaan mudik dimulai atau sesudahnya. Jenderal Bintang Dua tersebut mengungkapkan, Operasi Keselamatan merupakan bentuk keseriusan Korlantas agar tidak ada masyarakat mudik Lebaran. Selain itu, Korlantas akan mendirikan 333 titik penyekatan dari Bali hingga Lampung. “Kita juga sosialisasi titik-titik penyekatan. Ini kita berita tahu supaya masyarakat bisa memahami tidak ada celah untuk lolos dari penyekatan peniadaan mudik,” jelas Kakorlantas.
Irjen Pol Istiono menyebut penindakan peniadaan mudik akan dimulai 6 hingga 17 Mei 2021. Ia memastikan jajarannya akan siaga 24 jam untuk memastikan tidak ada pemudik yang lolos dari pos penyekatan. “Kami pastikan tidak ada yang bisa lolos. Anggota berjaga 24 jam, ada 3 shift. Kami ingin masyarakat sadar bahwa tujuan peniadaan mudik untuk kebaikan bersama dalam memutus rantai penyebaran COVID-19,” terang Kakorlantas Polri.
Kegiatan kepolisian yang ditingkatkan
Adanya peraturan selalu ada upaya untuk melanggar. Itulah yang sering menjadi perilaku orang Indonesia khususnya pemudik. Untuk mencegah hal itu, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mengantisipasi pergerakan masyarakat yang hendak melakukan mudik Idul Fitri 2021 sebelum hari libur yang jatuh pada 6 hingga 17 Mei 2021 mendatang.
Kabag Ops Korlantas Polri Kombes Rudy Antariksawan menjelaskan bahwa kepolisian bakal menggelar Operasi Keselamatan pada 12-25 April 2021 serta Kegiatan Kepolisian yang Ditingkatkan (KKYD). “Kegiatan sosialisasi masif kepada masyarakat agar sadar, paham kenapa masyarakat dilarang mudik. Serta kegiatan kepolisian yang ditingkatkan (KKYD) dengan sosialisasi dan pencegahan,” kata Rudy.
Dalam hal ini, KKYD akan mulai diperketat sebelum 6 Mei 2021, sehingga polisi dapat menyaring masyarakat yang hendak mudik sebelum hari libur yang ditentukan. Masyarakat yang keluar perbatasan daerah nantinya diperiksa dan diverifikasi oleh petugas. Hanya, dia belum dapat menjelaskan secara rinci mengenai metode pemeriksaan kepolisian itu. “Kami memastikan tidak ada yang mudik duluan. Dan kalau ada yang berpergian dengan alasan tertentu diperiksa surat-surat dan dipastikan dalam keadaan sehat atau cek protokol kesehatan,” ujar Rudy. (Saf)