Mematahkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua
Penanganan keamanan di Papua harus dilakukan hati-hati karena di Papua merupakan kombinasi antara kepentingan ideologis politis dengan ekonomi dan pragmatisme. Program Jangka panjang harus ditekankan pada pembentukan dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi yang dilakukan secara bertahap dan simultan guna menciptakan ruang-ruang dialog sehingga kecurigaan dan rasa tidak percaya dapat mulai dikikis.
Jakarta, 9 April 2021. Upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian terhadap KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di berbagai wilayah di Papua semata-mata dilakukan karena kelompok-kelompok tersebut memiliki dan menggunakan senjata api untuk melakukan serangkaian aksi kekerasan, teror dan intimidasi, tidak saja kepada aparat TNI dan Polri, aparat kampung atau desa, tetapi juga kepada masyarakat sipil. Mereka menamakan diri mereka sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), TNPPB (Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat) dan sebagainya. Pemerintah dan kepolisian di sisi lain menyebut mereka sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) yang merupakan strategi komunikasi publik untuk menganggap mereka sebagai organisasi yang melanggar hukum kriminal karena memiliki senjata secara ilegal. Dalam melakukan aksi-aksinya KKB di Papua sering menyerang anggota polisi dan juga tentara.KKB menerapkan strategi bergerilya di hutan-hutan Papua dan dilaporkan telah mengkhawatirkan masyarakat lokal yang khawatir untuk dijadikan sandera.
Aksi kekerasan mereka dilakukan berkali-kali seperti tampak dalam laporan-laporan pembantaian puluhan pekerja jalan trans-Papua, penyerangan atas pos TNI di kabupaten Nduga, penembakan pesawat pengangkut personal Brimob dan warga sipil dan masih banyak kasus lagi. Pemerintah Indonesia selama ini selalu berupaya melancarkan tindakan-tindakan penanganan sebagai bagian dari ancaman terhadap keutuhan NKRI. Persoalan utama Pemerintah adalah bagaimana dapat mematahkan KKB di Papua secara efektif. Jajaran Kepolisian juga senantiasa sibuk merancang strategi menghadapi berbagai ancaman mereka. Sinergi TNI-Polri dianggap sangat penting, sedangkan komunikasi harus dijalankan secara baik di antara kedua pihak.
“TNI-Polri harus terus memantapkan sinergi melalui strategi komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi dalam setiap penugasan. Bangun komunikasi yang baik satu sama lain. Komunikasi yang baik adalah awal dari terbangunnya kerja sama yang baik pula,” kata Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Markas Yonif Raider 751/Vira Jaya Bakti, Jayapura (26/2).
Penerapan Strategi Baru Adalah Jawaban?
Menghadapi aksi KKB memang tidak mudah dan jelas memerlukan kerja keras untuk selalu mencari strategi-strategi baru untuk penanganan yang lebih tepat. Asisten Latihan Kepala Staf Angkatan Darat (Aslat KSAD) Mayjen TNI Harianto mengatakan pihaknya akan merubah pola latihan perang bagi prajurit tempur yang akan bertugas di Papua dengan metode latihan perang gerilya. Hal itu dilakukan guna meminimalisir jumlah korban jiwa dalam menjalankan operasi di Papua. “Dengan banyaknya korban di tempat tugas, selaku Asisten Latihan saya membuat perubahan latihan untuk personel yang melaksanakan tugas, sehingga personel mulai Januari melaksanakan latihan yang menggunakan metode baru,” katanya, (5 Februari 2021).
“Latihan perang gerilya perlu ditingkatkan lagi. Kita harus menguasai pengenalan karakter orang Papua/OPM, baik cara budayanya, cara mencari makan dan cara mereka bertahan hidup, sehingga tugas akan berhasil apabila kita menguasai kultur mereka,” ujarnya. Strategi-strategi baru memang benar harus selalu diperbarui. Namun yang lebih penting dicermati sebenarnya adalah bahwa strategi itu tidak akan mampu mematikan aksi mereka selama masyarakat sekitar di mana KKB itu hidup masih setia mendukung organisasi tersebut. Diketahui bahwa ada dukungan besar secara lokal maupun dunia internasional yang selalu mengikuti segala kejadian dari jauh senantiasa sangat tinggi kepada kelompok tersebut. Jadi, kedua faktor ini sesungguhnya mesti diperhitungkan demi upaya mematahkan KKB sampai dengan ke akar-akarnya.
Memasukkan Dalam Kategori Teroris?
Sebagian pengamat menyatakan bahwa upaya komprehensif harus diterapkan sebagai upaya mujarab mematikan mereka. Secara taktis operasional, TNI dan Polri harus menghancurkan dan menetralisasi penyerang dan yang tertangkap harus dipidanakan sebagai makar. Upaya penghancuran KKB akan dianggap efektif bila mereka ditetapkan sebagai organsiasi teroris, sehingga sesuai Pasal 12 A ancaman pidana terhadap pendiri, pemimpin, pengurus dan pengendali, anggota dan perekrut anggota termasuk di luar negeri dapat diterapkan. Aparat dengan cara itu dapat ditangkap semua yang terlibat tanpa menunggu serangan dan jatuhnya warga sipil dan memiliki otoritas untuk memonitor aliran dana dan publikasi media masa dan media sosial mereka.
Turunkan Tensi Kebijakan Militer
Pendekatan keamanan yang masih diberlakukan di Papua sampai saat ini tampaknya harus ditinjau kembali. Pendekatan keamanan dengan paradigma yang menganggap masyarakat Papua sebagai ancaman dan kekuatan politik pro-kemerdekaan dan “pembangkang” dianggap para pengamat sebagai bentuk pendekatan gegabah dan tidak komprehensif. Pelabelan mereka sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebenarnya juga telah memberi stigma tidak menguntungkan bagi upaya menciptakan perdamaian di Papua. Demikian pernyataan Komite Nasional Papua Barat yang berkampanye bagi penentuan nasib sendiri (referendum).
Laporan LIPI berjudul Papua Road Map (2009) mengungkapkan akar masalah di Papua meliputi antara lain faktor peminggiran, diskriminasi dan minimnya pengakuan kontribusi Papua bagi Indonesia, pembangunan infrastruktur yang tidak optimal terutama pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua. Juga mengenai proses integrasi politik, ekonomi dan sosial budaya yang belum tuntas, serta siklus kekerasan yang meluas, termasuk pelanggaran HAM. Paradigma keamanan yang selama ini diterapkan telah memberikan implikasi sosiologis karena memandang rendah martabat orang Papua sehingga keberadaan kelompok-kelompok perjuangan bersenjata masyarakat Papua (KKB) malah menjadi kuat.
Direktur Eksekutif Strategi Institute, Anthony Danar mengatakan aparat penegak hukum dalam hal ini pihak TNI dan Kepolisian memang harus mengambil tindakan tegas menghadapi KKB di Papua untuk menghentikan rentetan kejahatan dan teror. Namun, Ia juga menghimbau pemerintah untuk tidak perlu bereaksi secara berlebihan. Pemerintah harus menyeimbangkan antara pendekatan keamanan negara dengan keamanan manusia yang hidup dan tinggal di Papua. Pendekatan nonmiliter melalui Restorative Justice lebih dikedepankan dalam upaya penyelesaian permasalahan gangguan keamanan di Papua. Dengan demikian, diharapkan jalur dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi dalam jangka panjang dapat terbangun. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pendekatan melunak, soft approach dengan program yang dapat menyentuh masyarakat akar rumput diterapkan sebagai pendekatan yang jitu. Ini tentu tidak akan dengan mudah diterapkan. karena KKB itu pada kenyataannya melebur dan menyatu dengan masyarakat sehingga perlu perhatian ekstra.
Stigma dan cap bahwa semua orang Papua sebagai KKB, bahkan teroris, misalnya diprotes oleh Presiden GIDI (Gereja Injili di Indonesia) Papua, Pendeta Dorman Wandikbo. Menurutnya, kelompok yang memegang senjata dan berjuang di hutan-hutan tidak dapat disebutkan sebagai teroris, dan harus dilihat sebagai upaya menyampaikan keadilan yang sudah lama tak ada dan banyaknya pelanggaran HAM dalam sejarah Papua selama ini. Menurutnya solusi seharusnya adalah dicari dari akar konflik yang ada. Selain itu perlu mencari solusi mensukseskan pembangunan, mengatasi proses marjinalisasi dan diskriminasi atas orang Papua.Dialog adalah penting dilakukan mulai dari pemerintahan pusat hingga daerah tanpa ditunda. Pemerintah harus melakukan pendekatan persuasif yang intens dengan para pemangku kepentingan dan memperbaiki komunikasi. Selama ini masih ada kebuntuan komunikasi antara aparat TNi-Polri dengan pemangku kekuasaan lokal. Pemerintah daerah, gubernur dan bupati perlu untuk lebih proaktif bekerjasama dengan aparat kepolisan untuk mengembalikan dan menciptakan kembali suasana yang kondusif. Adalah juga perlu untuk diteliti mengapa KKB masih kerap melakukan kekerasan dan tak segan-segannya membunuh warga dan aparat keamanan. Motif melakukan kekerasan harus diurai demi penjagaan keamanan dan ketertiban.
Perlu Sinergi
Pembangunan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Papua baik fisik maupun non fisik memerlukan sinergi dan koordinasi antara Pemerintah daerah, DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua. Juga diperlukan pembentukan arena bersama yang bisa memberi tempat bagi martabat Papua dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, telah meminta aparat TNI dan personal Polri menanamkan nilai nasionalisme pada masyarakat Papua. Ini merupakan strategi menghadapi propaganda yang dijalani oleh KKB (27/2/2021). “Tanamkan kepada mereka bendera merah putih tetap berkibar”, demikian kata Divisi Humas Polri. Harus diakui ini tidak mudah. Masih ada kecurigaan dan rasa tidak percaya yang tajam antara Pemerintah dengan orang Papua. Dengan penerapan ukuran nasionalisme, telah terjadi stigmasisasi terhadap orang Papua, apalagi masyarakatnya masih banyak yang belum sejahtera.
Penanganan keamanan di Papua harus dilakukan hati-hati karena di Papua merupakan kombinasi antara kepentingan ideologis politis dengan ekonomi dan pragmatisme. Program Jangka panjang harus ditekankan pada pembentukan dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi yang dilakukan secara bertahap dan simultan guna menciptakan ruang-ruang dialog sehingga kecurigaan dan rasa tidak percaya dapat mulai dikikis.
Peran Penting Polri
Sejak 2019, Polri telah menerima penugasan menjaga menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah Papua dengan sandi operasi Nemangkawi dalam rangka penegakan hukum terhadap gangguan keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Terjadinya aneka gangguan keamanan memperlihatkan betapa kompleksnya masalah di Papua dan beratnya tugas kepolisian sesuai dengan akuntabilitas selaku aparat penegak hukum dan pelindung masyarakat. Penyelesaian kasus separatisme di Papua terus dilaksanakan secara intensif dan komprehensif lewat model pendekatan pembangunan, utamanya upaya peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat yang didukung dengan pembangunan pada seluruh aspek kehidupan.
Asisten Kapolri Bidang Operasi Inspektur Jenderal Polisi Drs. Herry Rudolf Nahak, M.Si. Menyebutkan, “Penanggulangan KKB di Papua ke depan agar lebih optimal baiknya setiap stakeholder yang berperan melakukan langkah penanggulangan dengan menyesuaikan kondisi riil di masyarakat. Bahwa penanganan konflik di setiap daerah berbeda-beda dan tak bisa disamakan. Meski demikian ada pula persamaan dari sejumlah konflik itu. Sebagai contoh, cara dan keberhasilan dalam menangani konflik di Aceh sebelumnya, tidak bias digunakan di Papua. Diperlukan suatu upaya perumusan pertahanan, keamanan, politik dan sosial yang berkesinambungan saya kira.” Katanya.
Dengan mengutip mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Al Rahab Dalam buku Heboh Papua (2010) menyebut, soal bendera Bintang Kejora, polisi saja maju. Karena, soal bendera itu masalah hukum, tidak perlu tentara. Bendera naik lima menit saja kan tidak apa-apa, dekati saja orangnya, tidak perlu dipukul. Kepolisian Daerah Papua dalam waktu dekat akan berusaha membangun komunikasi dan melakukan upaya pendekatan kesejahteraan untuk mengatasi adanya aksi anarkis Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Wilayah Konflik. Upaya pendekatan di wilayah konflik itu dilakukan agar Polda Papua bisa bersinergi untuk membangun dan menciptakan keamanan di tanah Papua. “Kita akan menerapkan pendekatan kesejahteraan di wilayah yang sangat rawan dengan aksi kelompok kriminal bersenjata (KKB),” kata Kapolda Papua Irjen Pol. Mathius Fakhiri (10 Maret 2021).
Selain berurusan dengan KKB, Fakhiri mengaku akan melakukan pengawasan terhadap dana otonomi khusus agar tepat sasaran, oleh sebab itu Fakhiri mengaku akan berupaya membangun komunikasi bersama. Menyelenggarakan dialog setara-partisipatif antara pemerintah pusat dengan tokoh-tokoh dan representasi masyarakat Papua diperlukan untuk menemukan strategi pemecahan masalah yang terjadi di Papua untuk mengakomodasi seluruh aspirasi.
Karena konflik selalu menjadi bagian dari dinamika sosial, politik dnan keamanannya, Indonesia telah memiliki pengalaman dalam penanganan ancaman-ancama separatisme di masa lalu. Sejak awal kemerdekaan, terdapat organisasi-organisasi yang pengganggu stabilitas Indonesia sepert GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, DI TII di Makassar. Persoalan di Aceh dan Poso Sulteng, dan sebagainya yang diselesaikan. Dengan pendekatan inovatif yang melibatkan dialog ditempuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah kembali ke NKRI. Diharapkan pendekatan yang sama akan dapat berhasil mengatasi masalah yang sama menghadapi KKB di Papua (Isk – dari berbagai sumber)