Korupsi, Bantuan Sosial (Bansos) dan Peran Polri
Tidak semua bantuan sosial (Bansos) Pemerintah dalam konteks pandemi Covid-19 tersalurkan sesuai dengan prosedur sebab korupsi terhadap bansos ditengarai banyak terjadi di mana-nama dan mengkover seluruh wilayah di Indonesia, baik dari segi pengelolaan maupun penyalurannya.Pihak Polri sebenarnya tidak sedikit telah berhasil menangani kasus-kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 di seluruh Indonesia.Kasus yang menimpa mantan menteri Sosial Juliari Batubara sebenarnya bagian dari Dana program PEN (pemulihan ekonomi nasional) 2020 sektor bantuan sosial (bansos) yang diselewengkan. Karenanya, untuk menghidari terjadinya korupsi bansos jilid 2, Sri Mulyani meminta bantuan Polri untuk mengawal dana PEN sebesar Rp 699 triliun.
Jakarta,1 Juni 2021. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia nomor 54/HUK/2020 dijelaskan adanya urgensi pemberian bansos kepada kelompok rentan, dalam kerangka menjamin stabilitas ekonomi masyarakat yang terancam oleh sebab resesi ekonomi, yakni dampak langsung dari pandemi Covid-19.
Seperti kebijakan di negara-negara lainnya, Indonesia merasa berkewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar warganya yang terpaksa harus dibatasi aktivitasnya sesuai dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Apalagi soal jaminan sosial juga sudah tercantum dalam Pasal 28 H dan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) serta pasal 41 Undang-undang tentang hak asasi Manusia (UU HAM).
Tindak korupsi
Tidak semua bantuan sosial (Bansos) Pemerintah dalam konteks pandemi Covid-19 tersalurkan sesuai dengan prosedur sebab korupsi terhadap bansos ditengarai banyak terjadi di mana-nama dan mengkover seluruh wilayah di Indonesia, baik dari segi pengelolaan maupun penyalurannya. Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) menemukan fakta bahwa pemberian dana bansos di situasi bencana rentan membuka celah korupsi. Maraknya kasus tindak pidana korupsi dana bansos tersebut selalu berkaitan dengan besarnya jumlah dana yang digelontorkan oleh Pemerintah.
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah menggelontorkan anggaran dalam rangka penyelenggaraan bantuan sosial sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dana-dana inilah yang kemudian berpotensi disalahgunakan. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyatakan bahwa korupsipada tersebut muncul karena ada celah regulasi dalam pengadaan barang dan jasa yang melalui mekanisme penunjukan langsung saat situasi darurat atau pandemi. “Tidak ada tender, di situ kami melihat ada potensi korupsi dan konflik kepentingan yang tinggi,” jelasnya.
Sampai dengan 14 Juli 2020, tercatat 55 kasus penyelewengan dana bansos telah ditangani oleh Polri. Menurut penyelidikan polisi, diketahui bahwa sejumlah alasan penyalahgunaan bansos itu bisa berupa pemotongan dana dan pembagian yang tidak merata, pemotongan dana sengaja dilakukan oleh perangkat desa dengan maksud keadilan dengan tidak dapat. Ada pula dana figunakan untuk keperluan lain seperti uang lelah, pengurangan timbangan paket sembako, maupun ketiadaan transparansi sistem pembagian dana tersebut. Selain tindakan penyalahgunaan terjadi di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya, polisi juga menemukan berbagai penyelewengan banson Covid-19 di tempat-tempat lain seperti Sumatera Utara, Banten dan Sulawesi Selatan, demikian menurut Kepala Biro Penerangan masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono.
Karenanya jelas ini merupakan bentuk mega korupsi masif yang perlu menjadi perhatian dari aparat hukum dan KPK, terutama dalam menyikapi dana-dana yang akan digelontorkan di masa depan. Penegak hukum perlu mampu membuat pemetaan permasalahan dan kerugian-kerugian apa yang telah dihadapi masyarakat sebagai dampak langsung maupun tidak langsung. Pelaku penyelewengan dana ini umumnya merupakan bagian dari elit yang diberi wewenang namun tidak saja merugikan penerima yang berhak dengan dana bantuan sosial tersebut, namun juga penyalahgunaan kewenangan mereka telah mengancam kehidupan kalangan miskin dan rentan di Indonesia.
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhanakorupsi bansos adalah praktek kejahatan yang tidak hanya terbatas pada urusan suap-menyuap semata, tapi berpotensi merugikan keuangan negara sampai sebesar Rp 2,73 triliun. Penghitungan kerugian dengan jumlah ini, menurut Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyangkut tidak saja di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya saja tapi juga di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia di mana pola korupsi mereka memiiki banyak kesamaan.
Di antara kasus yang paling mencuat adalah yang menyangkut mantan Mensos Juliari Peter Batubara yang akhirnya didakwa menerima suap Rp 32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos Covid-19. Modusnya adalah dengan meminta fee sebesar Rp 10 ribu dari total harga paket sembako Rp 300 ribu untuk setiap warga Jabodetabek. KPK telah menetapkan Juliari bersama empat orang lainnya sebagai tersangka, yaitu dua PPK di Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) serta dari pihak swasta Ardian IM (AIM) dan Harry Sidabuke (HS).
Dalam kasus tersebut, KPK menduga Batubara menerima suap senilai Rp17 miliar dari komisi pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima “fee” Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Santoso kepada Batubara melalui Wahyono dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar. Pemberian uang itu selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Batubara.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang komisi dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari Batubara. Untuk komisi disepakati Santoso dan Wahyono sebesar Rp10.000 perpaket bantuan sosial sembako dari nilai Rp300.000 perpaket bantuan sosial itu.
Ancaman bagi kalangan miskin
Mereka melakukan tindak kejahatan ini demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Yang mereka lakukan mengancam kelompok miskin yang rentan dalam masyarakat Indonesia. Untuk menindaklanjuti hal itu, beberapa organisasi kemasyarakat mengajukan kepeloporannya membentuk koalisi untuk membela masyarakat yang terimbas. Di antara yang tergabung adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KonstraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Change.org, dan visi integritas Law Office.
Koalisi ini percaya bahwa paling tidak sejumlah 1,3 juta keluarga yang seharusnya berhak menerima manfaat bansos telah dirugikan. Dalam Koalisi masyarakat sipil tersebut, disediakan medium pos pengaduan agar masukan-masukan dan laporan dari masyarakat dapat ditampung. Mereka menuntut adanya pengusutan tuntas bagi semua pihak yang terlibat dan agar diberikan sanksi dan yang setimpal agar bisa memberi efek jera seraya memulihkan hak-hak masyarakat yang telah dirugikan itu.
Febri Diansyah, Koordinator visi Integritas Law office berpendapat bahwa pendirian pos pengaduan masyarakat merupakan kompensasi atas kerugian publik dan bisa menjadi dasar upaya hukum untuk melakukan gugatan publik bersama serta pengawalan dan pengawasan untuk kebijakan penyaluran bansos yang berikutnya. Ada yang melihat bahwa memunculkan masalah korupsi bansos ini merupakan ekses dari situsi polemik hasil tes wawasan kebangsaaan di tubuh KPK.
Tugas KPK dan aparat penegak hukum
Selain KPK, aparat penegak hukum yakni kepolisian ikut turun tangan dalam mendalami, menindaklanjuti dan mengambil tindakan tegas bagi pelakunya. Diperlukan suatu pembuktian untuk penelusuran lebih lanjut. Pihak kepolisian mengambil langkah-langkah yang berbeda dengan melihat kasus-kasusnya. Untuk yang nominal kecil antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000 jalur mediasi berusaha ditempuh, artinya dana kerugian akan dikembalikan kepada pihak masyarakat.
Untuk penyelidikan kasus dengan nominal kerugian yang cukup besar, akan diselidiki prosesnya dan akan didalami. Pihak kepolisian tahun lalu (2020) juga pernah menangani kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 di Dinas Sosial Kabputaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Namun menurut Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi Polres Bukukumba Ipda Muhammad Ali, penyelidikan kemudian dihentikan dan tidak bisa ditingkatkan ke tahap penyelidikan oleh penyidik karena Dinsos Bulukumba mengembalikan kerugian negara pada tahap penyelidikan itu. Karenanya tidak diterapkan sanksi kepada Dinsos Bulukumba dan perkaranya dianggap selesai.
Baru-baru ini bergulir kembali kasus dugaan gratifikasi bansos Covid-19 di lingkungan Pemprov Sulawesi Selatan. Sekretaris provinsi Sulsel Abdul hayat Gani telah diperiksa oleh penyidik Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel. Berbagai bukti-bukti untuk menunjukkan dugaan tersebut masih terus dikumpulkan hingga Maret 2021. Menurut pengamat keuangan negara Universitas Patria Artha, Bastin Lubis, metode pemeriksaan atau audit bansos yang dilakukan oleh Inspektorat sampai kini masih keliru, karena yang mereka lakukan hanyala semacam audit proyek swakelola dan bukan audit proyek kontrak pihak ketiga.
Pihak Polri sebenarnya tidak sedikit telah berhasil menangani kasus-kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 di seluruh Indonesia. Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divhumas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, sampai dengan sekarang ini setidaknya ada sejumlah 92 kasus. Puluhan dari kasus tersebut telah tertangani oleh Satgas Khusus Pengawasan Dana Covid-19 di 18 polda seluruh Indonesia, dengan rincian Polda Jawa Barat sebanyak 12 kasus, Polda Nusa Tenggara Barat 8 kasus, Polda Riau 7 kasus dan Polda Sulawesi Selatan 4 kasus. Belum lagi sejumlah panjang kasus-kasus lain yang masih dikerjakan di polda –polda seperti Polda Banten, Jawa Timur, NTT, Sulteng, Maluku Utara, Sumatera Selatan dan seterusnya.
Menghindari Penyelewengan Bansos di Masa Depan
Kasus yang menimpa mantan menteri Sosial Juliari Batubara sebenarnya bagian dari Dana program PEN (pemulihan ekonomi nasional) 2020 sektor bantuan sosial (bansos) yang diselewengkan. Karenanya, untuk menghidari terjadinya korupsi bansos jilid 2, Sri Mulyani meminta bantuan Polri untuk mengawal dana PEN sebesar Rp 699 triliun. Baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani menandatangani kesepakatan (memorandum of Understanding) dengan pihak Polri.
Dalam MoU itu diterangkan bahwa masing-masing pihak bisa mengetahuai data serta informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengawasan, sehingga dapat memberikan feedback informasi tentang pelaksanaan program pemulihan ekonomi. Pemerintah juga bekerjasama dengan aparat penegak hukum lain yaitu kejaksaan dan KPK untuk melakukan pengawasan. Dan untuk eksternal, menurut Menkeu Sri Mulyani, akan membangun komunikasi dengan BPK sebagai auditor eksternal pemerintah. Upaya ini jelas supaya dapat mendukung pengawasan dari aparat penegak hukum agar penyelewengan dan penyalahgunaan program pemulihan ekonomi Nasional (PEN) dengan baik. (Isk – dari berbaai sumber)