Tawuran Yang Selalu Berulang
Tawuran antar warga seperti penyakit yang terus kambuh. Selalu berulang terlebih di bulan Ramadhan. Ironis. Adakah cara mencegah tawuran yang paling efektif ? Bagaimana peran Polri dalam mengantisipasi tawuran antar warga ?
Jakarta – (17/04/2021). Warga Johar Baru merasa resah dengan tawuran antarwarga yang kembali terjadi di wilayah tersebut. Tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat. Warga Johar Baru bernama Robby menyatakan tawuran yang berulang kali terjadi itu menimbulkan keresahan. Menurut dia tawuran antarwarga terjadi sejak lama. “Sudah sejak lama memang. Harapannya sih tidak ada tawuran lagi, soalnya masyarakat kan yang jadi khawatir,” kata Robby.Untuk mengusut pelaku yang memicu tawuran tersebut, Polsek Johar Baru dan Polres Jakarta Pusat menggelar operasi gabungan. Kanit Reskrim Polsek Johar Baru AKP Suprayogo mengatakan masih melakukan penyelidikan tawuran ini. “
Nanti kita sama-sama dengan polres, gabungan kita operasi lah untuk pelaku tawuran. Ini kita sementara masih penyelidikan,” kata Suprayogo di Jakarta, Senin. Pemicu tawuran diduga karena pertikaian atau cekcok antarwarga. Tawuran terjadi di dua titik, yakni di Kota Paris, Tanah Tinggi dan Jalan Kramat Pulo Gundul (Velbak), Jakarta Pusat. Polisi memastikan tidak ada warga yang menjadi korban dalam tawuran tersebut. Juga tidak ada rumah warga yang mengalami kerusakan imbas bentrokan itu. “Tidak ada korban. Kejadian juga terjadi di jalan. Sementara masih dicari tahu siapa saja pelakunya,” kata dia.
Lempar batu dan kembang api
Dalam video yang beredar, tawuran tersebut diwarnai aksi saling lempar batu dan kembang api. Menanggapi hal ini, Kapolsek Johar Baru Komisaris Supriyadi mengatakan pihaknya segera menerjunkan tim untuk membubarkan tawuran tersebut. “Langsung tim kami datang dan bubar mereka, ga sampai tiga menit,” ujar Supriyanto saat. Supriyanto menjelaskan, tawuran di lokasi tersebut sudah sering terjadi. Namun saat diselidiki penyebabnya, pihak kepolisian selalu tak menemukan jawabannya.
Sebab, sampai saat ini polisi kesulitan menangkap para pelaku tawuran untuk ditanyai alasan mereka baku hantam. “Setiap ditanya petugas, warga selalu enggak mau kasih tahu pelakunya,” ujar Supriyanto. Dengan sikap tidak kooperatif warga itu, tawuran di Johar Baru menjadi terus berulang tanpa bisa diprediksi. Mengenai adanya dugaan tawuran sebagai modus peredaran narkoba, Supriyanto mengatakan pihaknya masih melakukan penyelidikan. Untuk memberi efek jera, Supriyanto mengatakan pihaknya sudah membuat stiker dan spanduk bergambar wajah pelaku tawuran yang terekam kamera. Spanduk dan stiker dengan tulisan .”DICARI” itu kemudian dipasang di sekitar Johar Baru. “Ini untuk memberi efek kejut kepada para pelaku tawuran. Terbukti sampai ada pelakunya yang lari ke Subang karena itu,” ujar Supriyanto.
Sejak dulu
Camat Johar Baru Nurhelmi Savitri mengakui bahwa tawuran antarpemuda kerap terjadi di wilayahnya sejak dulu. Namun, ia sendiri mengaku tidak pernah tahu penyebab dari aksi tawuran tersebut. “Kalau ditanya penyebabnya, dari dulu sampai sekarang enggak ada penyebabnya. Penyebabnya (pelaku) lagi pengin tawuran aja kali,” kata Nurhelmi saat dihubungi. Pada Minggu sore kemarin, tawuran kembali terjadi di Johar Baru. Dilaporkan Kompas TV, aksi tawuran terjadi di dua lokasi, yakni di Jalan Pulo Gundul dan Jalan Bala Dewa. Aksi kedua tawuran dapat diredam dengan gas air mata dari petugas kepolisian. “Saya juga enggak ngerti kalau kita tanya di Johar baru tawuran penyebabnya apa, enggak pernah tahu dari dulu. Tiba-tiba tawuran aja,” kata Nurhelmi. “Tapi durasi tawuran enggak lama, paling 5-10 menit selesai. Lalu polisi datang pakai gas air mata. Jadi enggak kayak di tempat lain yang lama. Kita mah sebentar,” sambung dia.
Meski demikian, Nurhelmi mengklaim intensitas tawuran di Johar Baru saat ini sudah jauh berkurang dibandingkan dulu. Menurut Nurhelmi, penurunan mulai terjadi saat ia sudah menjabat sebagai camat pada Februari 2019. “Jelas menurun. Dulu waktu saya lurah sehari bisa lima kali. Sekarang sebulan tiga kali paling tawurannya,” ujar dia. Menurut dia, menurunnya intensitas tawuran ini karena kesadaran masyarakat yang sudah mulai membaik. Jajaran Kecamatan, TNI, dan Kepolisian juga berupaya mengandeng para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.Sementara itu, polisi masih memburu pelaku tawuran yang terjadi kemarin. Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Johar Baru Ajun Komisaris Polisi Suprayogo mengatakan, pihaknya saat ini masih menyisir di sekitar lokasi tawuran. “Hari ini kami sisir lokasi tawuran bersama-sama dengan Polres Jakarta Pusat. Kami operasi gabungan untuk mencari pelaku tawuran. Sementara kami masih penyelidikan,” kata Suprayogo.
Bongkar JPO
Warga Kelurahan Tanah Tinggi dan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, meminta Suku Dinas Bina Marga untuk membongkar jembatan penyeberangan orang (JPO) Kali Sentiong yang menghubungkan dua wilayah ini. Menurut Camat Johar Baru Nurhelmi Savitri, aspirasi pembongkaran ini disampaikan warga karena JPO tersebut kerap dijadikan akses tawuran anak-anak muda dari Kampung Rawa dan Tanah Tinggi. “Aspirasi warga sudah kami tindak lanjuti ke Sudin Bina Marga Jakarta Pusat. Namun, pembongkaran jembatan itu harus dilakukan dengan penghapusan aset terlebih dahulu,” kata Nurhelmi dalam keterangannya. Ia memaparkan, sejumlah lokasi tawuran antarremaja yang kerap terjadi di Johar Baru di antaranya Jalan Kramat Jaya Baru RW 01, RW 10 Tanah Tinggi.
Serta sepanjang bantaran kali Sentiong dan yang paling terkenal adalah Kota Paris. “Kelurahan Tanah Tinggi dan Kampung Rawa yang kerap terjadi tawuran yang meresahkan warga,” paparnya. Kepala Seksi (Kasie) Jembatan dan Jalan Suku Dinas Binamarga Yudha Catur Suhartanto menjelaskan JPO yang dimohon warga untuk dibongkar merupakan aset Dinas Bina Marga DKI Jakarta. Karena itu, harus diajukan dulu penghapusan aset ke Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta. “Kami sudah mengajukan permohonan ke Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta pada awal Maret 2021 untuk penghapusan aset sebelum dilakukan pembongkaran,” tukasnya.
Patroli Polisi
Sejatinya, Polisi telah berpatroli mengantisipasi perang sarung selama Ramadan 1442 Hijriah. Kegiatan yang biasa dilakukan pemuda saat malam hari ini berpotensi menyebabkan tawuran.”Tim preventive strike yang kita bentuk di sini bersama-sama TNI dan Pemprov DKI melakukan kegiatan patroli gabungan. Ini setiap hari kita lakukan bahkan sampai ke wilayah,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan baru-baru ini.
Selain perang sarung, Yusri mengatakan tawuran kerap terjadi akibat saling ejek di media sosial (medsos). Kemudian, kedua pihak bertemu hingga akhirnya bentrok.”Ini kita lakukan patroli bersama terus, memang beberapa tempat ada seperti terjadi kemarin (tawuran),” ungkap Yusri. Menurut dia, polisi tengah berpatroli siber mencari kelompok-kelompok yang saling ejek di media sosial. Polisi akan menindak tegas pelaku jika sampai terlibat tawuran. “Kami sampaikan ke wilayah untuk lebih masif lagi patroli di daerah rawan tawuran, misalnya Jakarta Timur, Depok, Jakarta Selatan, maupun di tempat lain,” ungkap Yusri.
Berbagai Penyebab tawuran
Banyak aspek yang harus diurai sebagai penyebab tawuran antar warga. Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Koentjoro Soeprapto mengatakan, tawuran yang terjadi di Jakarta Pusat sudah berlangsung lama dan terjadi karena banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kepadatan penduduk, jurang yang kaya dan miskin begitu besar, lalu lintas yang padat hingga akhirnya menyulut agresivitas massa dan menjadi mudah disulut kemarahannya. Selain itu, ada banyak faktor lain yang melatarbelakangi tawuran yang terjadi akhir-akhir ini. “Ada tiga faktor yang menjadi penyebab tawuran, faktor karena memang diadu, faktor kepentingan, dan dendam lama,” kata Koentjoro. Menurutnya, alasan warga ataupun pelajar melakukan tawuran adalah untuk mendapat pengakuan dari orang lain. “Karena pada dasarnya, manusia memiliki sifat kebinatangan. Dari situ akan timbul rasa ingin diakui atau ingin terlihat wah,” lanjutnya. Koentjoro menyebutkan, motivasi seseorang untuk melakukan tawuran juga dapat muncul dari sejak keluarga. Misalnya saja saat pembagian warisan. Dalam pembagian warisan tersebut salah satunya adalah membagikan tanah. Bila tanah yang didapat dipermasalahkan, maka akan dibela mati-matian atau dalam bahasa jawa disebut sakdumuk batuk, sanyari bumi.
Hal tersebut sudah menggambarkan salah satu bibit tawuran. Selain itu, Koentjoro mencontohkan kasus yang terjadi di Papua kemarin adalah karena masalah ketersinggungan yang telah terjadi sejak lama. “Penyebabnya karena mereka sangat tersinggung, tentu tersinggungnya bukan hanya kemarin dan masuknya kepentingan lain, tetapi sudah menumpuk hingga akhirnya meledak,” paparnya. Dirinya menambahkan, tawuran di desa dan di kota penyebabnya berbeda. “Kalau di desa tawuran terjadi karena nilai dan masalahnya sepele, misalnya perebutan tanah dan saat nonton dangdut lalu bersenggolan akhirnya menimbulkan tawuran antar geng. Bila di kota, terjadi karena mobilisasi massa, artinya menyewa preman,” imbuhnya. Menurutnya, di luar negeri jarang terjadi tawuran. Yang terjadi seperti di Hongkong kemarin adalah karena faktor kepentingan. Tetapi antar kampung jarang terjadi, dikarenakan masyarakat di luar negeri lebih individualis. “Di luar negeri tidak ada orang yang nongkrong atau berkumpul, kalau di Indonesia banyak. Kegiatan tersebut dapat memicu dan menyulut tawuran,” terangnya. Lebih lanjut, Koentjoro juga memberikan saran-saran kepada para orang tua dan anak-anaknya agar tidak melakukan tawuran. Pertama yakni selalu mengingatkan dan mengontrol anaknya. Hal itu diperlukan untuk pencegahan. “Yang kedua, buat apa sih tawuran? selalu ingatkan kepada anak-anak kita, tidak ada yang untung. Saya menggunakan kata-kata njuk piye? terus bagaimana? apa terus juara? kan gak dapat apa-apa,” tutupnya.
Minim ruang publik
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, minimnya ruang publik menjadi faktor utama penyebab terjadinya tawuran antarwarga di sana. Absennya ruang publik membuat warga tidak memiliki aktivitas yang produktif, sehingga emosi cepat tersulut ketika sedikit saja terganggu. “Faktor utamanya adalah ruang interaksi yang kurang, jadi ruang publik tidak ada. Jadi orang itu stresnya semakin tertumpuk sementara aktivitas yang produktif relatif tidak ada,” ujar Rissalwan.
Rissalwan mengatakan, tidak adanya aktivitas produktif, itu membuat warga tidak memiliki pola pikir panjang. Ditambah lagi dengan tekanan perekonomian yang besar, membuat emosi gampang tersulut. “Jadi akibatnya apa, bisa dibayangkan lah kalau ke daerah Johar Baru, Manggarai, itu jalannya sempit-sempit, permukimannya padat, kondisinya panas kalau siang,” ujarnya. Rissalwan berpendapat, kawasan tersebut membutuhkan ruang publik yang besar seperti fasilitas publik atau balai warga. Fasilitasnya juga bisa berbentuk tempat berolahraga, taman, dan lainnya di kawasan yang padat penduduk itu.”Tapi kalau ruang publiknya besar, enggak senggolan gitu loh jadi yang satu bisa main bola, yang satu bisa main catur, yang satu bisa main yang lain. Minim fasilitas, jadi stres di rumah enggak ada kegiatan. jadi ya sudah ada yang merasa terganggu sedikit langsung tersulut,” ujar Rissalwan.
Masih saja ditemukan di berbagai daerah
Tawuran antar pelajar masih kerap ditemukan di beberapa daerah. Hal tersebut menyebabkan beragam dampak termasuk adanya korban di antara para pelaku tawuran itu sendiri. Umumnya tawuran antar remaja/pelajar yang terjadi di sebuah daerah tersebut adalah tradisi turun temurun. Masalah ini sering dikaitkan dengan perilaku negatif/menyimpang dan bahkan sering dikaitkan dengan pelanggaran hukum yang berujung pada tindak pidana. Kasus-kasus tersebut seringnya terjadi di kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya dan tidak menutup kemungkinan kota-kota yang lebih kecil juga melakukannya karena perkembangan internet yang semakin maju.
Maraknya tawuran dari tahun ke tahun selalu membawa korban mulai dari luka ringan hingga sampai harus dirawat di rumah sakit sampai ada beberapa yang harus menghembuskan napas terakhir. Berikut penyebab tawuran antar pelajar dan upayanya untuk mengatasi penyimpangan tersebut: Ciri remaja atau pelajar yang terlibat tawuran diduga dipengaruhi oleh beragam kondisi seperti lingkungan tempat tinggal, kedekatan dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya, hubungan dengan peer group serta akses untuk melihat kekerasan di media visual seperti tayangan di media sosial.
Faktor penyebab tawuran antar sekolah menurut jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan antara lain yang pertama yaitu karena remaja atau pelajar tersebut sedang mengalami krisis identitas. Identitas diri yang dicari remaja adalah bentuk pengalaman terhadap nilai-nilai yang akan mewarnai kepribadiannya. Jika tidak mampu menemukan atau menginternalisasi nilai-nilai positif ke dalam dirinya, serta tidak dapat mengidentifikasi dengan figur yang ideal, maka akan berakibat buruk, yakni munculnya penyimpangan-penyimpangan perilaku tersebut.
Jika para remaja tidak mendapatkan panutan yang baik atau keyakinan sendiri atas identitasnya, maka mereka cenderung mencari identitas yang sedang trend di lingkungan sekitarnya, dan apabila ia kebetulan di lingkungan yang buruk atau antar remaja dengan kekerasan, maka kemungkinan besar para remaja ini akan melakukan hal yang serupa. Penyebab tawuran berikutnya yaitu karena remaja memiliki control diri yang lemah. Kontrol diri merujuk pada ketidakstabilan emosi, emosi ini meliputi mudah marah, frustrasi, dan kurang peka terhadap lingkungan sosialnya.
Sehingga ketika menghadapi masalah, mereka cenderung melarikan diri atau menghindarinya, bahkan lebih suka menyalahkan orang lain, dan kalaupun berani menghadapinya, biasanya memilih menggunakan cara yang paling instan atau tersingkat untuk memecahkan masalahnya. Penyebab tawuran selanjutnya yang berasal dari faktor internal atau dari dalam diri sendiri yaitu karena tidak mampu menyesuaikan diri. Pelajar yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang kompleks, seperti keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai perubahan di berbagai kehidupan lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam.
Dilansir dari very well mind, penyebab tawuran atau kekerasan pada remaja bisa dipengaruhi oleh media. Penelitian oleh Research Institute of Moral Education, College of Psychology, Nanjing Normal University, Nanjing, China menunjukkan bahwa kekerasan di media mempengaruhi remaja dan dapat menyebabkan mereka bertindak agresif. Meskipun sulit untuk menentukan apakah kekerasan di media mengarah langsung ke kekerasan remaja, penelitian telah menunjukkan bahwa bermain video game kekerasan meningkatkan pikiran dan perilaku agresif.
Faktanya, sebuah penelitian menemukan bahwa video game kekerasan tidak hanya meningkatkan perilaku agresif. Mereka juga meningkatkan pikiran marah serta meningkatkan detak jantung dan tekanan darah peserta. Ketika orang tua tidak memberikan pengawasan yang memadai, remaja cenderung akan melakukan perilaku agresif atau aktivitas kriminal. Tanpa pengawasan orang dewasa, remaja tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat pilihan yang baik atau untuk mengenali risiko. Akibatnya, para remaja ini cenderung berteman dengan orang yang salah, mengambil risiko yang tidak perlu, dan bereksperimen dengan hal-hal yang tidak diizinkan oleh orang tua yang terlibat. Ketika orang tua terlalu permisif, anak-anak mereka seringkali tidak memiliki motivasi untuk berprestasi di sekolah dan bahkan mungkin berhenti memedulikan masa depan mereka. Secara keseluruhan, remaja membutuhkan disiplin yang adil dan tegas serta interaksi yang konsisten dan arahan dari orang tua. Ketika orang tua mengambil peran aktif dalam kehidupan remaja mereka, itu mengurangi kemungkinan kekerasan remaja. Tekanan teman memainkan peran penting dalam kekerasan remaja sebagai penyebab tawuran, terutama karena anak-anak lebih cenderung terlibat dalam perilaku berisiko atau kekerasan ketika mereka bertindak sebagai sebuah kelompok.
Remaja yang biasanya tidak agresif atau melakukan kekerasan sendiri sering merasa diberdayakan saat berada dalam kelompok. Selain itu, remaja lebih cenderung menjadi kasar atau agresif saat mereka merasa tertekan. Mereka juga mungkin melakukan kekerasan untuk mempertahankan tempat mereka dalam grup. Tekanan teman sebaya dapat membuat remaja terlibat dalam perilaku pengambilan risiko.Tempat tinggal remaja juga dapat berdampak pada mereka dan mengarahkan mereka untuk bertindak lebih agresif. CDC menunjukkan beberapa faktor risiko komunitas untuk kekerasan pemuda termasuk berkurangnya peluang ekonomi, tingkat kejahatan yang tinggi, dan lingkungan yang tidak terorganisir secara sosial. Selain itu, penelitian dari American Psychologist menunjukkan bahwa kekerasan remaja dapat menjadi bentuk “keadilan jalanan” sebagai jawaban atas kurangnya perlindungan polisi di beberapa lingkungan.
Ketika ini terjadi, remaja mungkin berusaha mengamankan lingkungan dengan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menertibkan daerah tersebut. Akibatnya, kekerasan pemuda sering kali bermanifestasi sebagai kekerasan geng, perang wilayah, perang senjata, dan jenis kekerasan lainnya. Anak muda yang bertindak agresif atau kasar kemungkinan besar sedang bergumul dengan perasaannya atau bisa jadi itu adalah reaksi terhadap sesuatu yang mereka alami dan mungkin mereka simpan sendiri. Apakah perilaku ini adalah sesuatu yang tidak terduga? Di sisi lain, apakah itu sesuatu yang mungkin telah meningkat seiring dengan perkembangan mereka? Penting untuk mencoba membuat garis waktu kapan dan bagaimana hal itu dimulai dan pemicu apa yang bisa menjadi katalisator.
Amankan dengan kekerasan
Sebagian pihak menilai dalam mengamankan pelaku tawuran, seringkali aparat khususnya Polri melakukan kekerasan dan pemaksaan yang menyalahi prosedur. Penanganan seperti itu jelas tidak bisa dibenarkan terhadap pelaku tawuran dengan pendekatan semacam itu. Alasannya, umumnya pelaku tawuran, mayoritas berumur kurang dari 21 tahun. Mereka masih sekolah dan tergolong di bawah umur. Pendisiplinan anak di bawah umur seharusnya tidak menggunakan metode militerisme. Beberapa tindakan yang sering dilakukan aparat adalah pemangkasan rambut, mengancam, mengintimidasi secara verbal, bahkan melakukan tindakan kekerasan atas dasar pendisiplinan. Kekerasan yang ditangani dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, rasa sakit dan dendam semakin bertambah. Lingkar perkawanan yang sering tawuran tidak akan bubar, tetapi semakin mengakar. Pendislipinan pelaku tawuran seyogianya melibatkan banyak pihak. Mulai dari orang tua, sekolah, dan lembaga rehabilitasi. Bila aparat melakukan penangkapan, seharusnya sesuai prosedur. Siswa harus didampingi kuasa hukum dan dijaga hak-haknya. Sungguh sulit diterima jika pendisiplinan pelaku tawuran menggunakan pendekatan militerisme atau kekerasan. Memang mengurai masalah tawuran ini seperti mengurai benang kusut yang sulit menemukan pangkal dan ujung masalahnya. Untuk itu mari semua pihak sepakat untuk menangani secara lebih mendalam dan komprehensif persoalan tawuran ini. (Saf).