AmanImanImun.com – Ditengah riuhnya suasana perkotaan di Kota Pontianak, para pengendara ojek online (ojol) terlihat menanti orderan dengan tatapan yang berbaur kecemasan dan harapan. Hari Kamis yang sejatinya ramai dengan aktivitas pekerjaan, menjadi hari yang berbeda bagi para mitra driver di Indonesia. Berbagai aksi unjuk rasa dipicu oleh penurunan pendapatan yang signifikan dan kondisi kerja yang kurang manusiawi. Pekerja transportasi berbasis aplikasi ini menuntut perbaikan kesejahteraan, upah yang layak, dan perlindungan sosial.
Lily Pujiati, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), dengan tegas menyatakan, “Platform digital di bidang layanan transportasi (ride hailing) sewenang-wenang mengatur tarif rendah karena menganggap hubungannya dengan pekerja ojol adalah sebagai hubungan kemitraan. Dengan status mitra ini, maka para pekerja ojol dan kurir secara otomatis menjadi kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Pekerja platform terpaksa bekerja lebih dari 8 jam kerja yang rawan akan kelelahan dan kecelakaan kerja.” Kondisi pekerja ojol tidak jarang diterpa isu perbedaan perlakuan antara platform digital, seperti Gojek dan Grab, terkait dengan regulasi tarif ojol yang tampaknya tidak adil.
Sementara itu, menurut Head of Corporate Affairs Gojek, Rosel Lavina, “Selama ini, mitra driver aktif Gojek juga menyampaikan aspirasinya melalui berbagai wadah komunikasi formal yang kami miliki.” Pernyataan ini dilontarkan sebagai respons atas berita aksi demo yang sudah beredar di media sosial dan aplikasi pesan instan. Adapun Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Indah Anggoro Putri, mengungkapkan, “Kemenaker memberi perhatian khusus pada kesejahteraan pekerja di platform digital.”
Perdebatan mengenai perlindungan dan standar kesejahteraan mitra ojol memanas bersamaan dengan aksi unjuk rasa yang digelar oleh komunitas ojek online dan kurir se-Jabodetabek. “Dengan rencana pelaksanaan jam 12.00 WIB dengan rute aksi Istana Merdeka, kantor Gojek di sekitar wilayah Petojo, Jakarta Pusat dan kantor Grab di sekitar Cilandak, Jakarta Selatan,” jelas Igun Wicaksono, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Roda Dua Nasional Garda Indonesia.
Menanggapi isu ini, Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, Irham Ali Saifuddin, menyatakan bahwa istilah kemitraan tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja. “Adanya lubang hukum ini membuat pekerja dalam hubungan kemitraan rentan terhadap eksploitasi dan juga eksklusi dari hak-hak yang seharusnya didapatkan,” tuturnya.
Rencana pemerintah untuk membuat peraturan khusus pekerja pada platform digital disambut baik, namun dengan harapan regulasi tersebut memberikan pengakuan dan perlindungan bagi mereka. “Kami ingin mengingatkan pemerintah agar regulasi pekerja pada platform digital yang akan diterbitkan tidak akan malah memperluas fleksibilitas hubungan kerja,” tegas Irham.
Rekson Silaban, analis dari Indonesia Labor Institute, berpendapat, “Mereka (ojol) lebih tepat dikategorikan pekerja ketimbang mitra.”
Di sidang lain, komunitas ojek online dan kurir di Jabodetabek menuntut perhatian lebih serius dari perusahaan aplikasi dan pemerintah. “Tanpa ada solusi dari platform dan tanpa dapat diberikan sanksi tegas oleh pemerintah, hal inilah yang membuat timbulnya berbagai gerakan aksi protes dari para mitra,” kata Igun Wicaksono, yang memimpin aksi unjuk rasa di Jakarta. Demonstrasi ini membawa pesan yang kuat, bahwa kebutuhan akan UU Profesi Ojol tidak bisa lagi diabaikan, dan harus menjadi perhatian utama dalam memformulasikan regulasi untuk transportasi daring masa depan.