Sosok Guru SD Galih Sulistyaningra Lulusan UCL Inggris dengan Beasiswa LPDP

Jakarta, Tiroe.com – Bagi Galih Sulistyaningra, menjadi seorang guru Sekolah Dasar (SD) memerlukan pemahaman yang mendalam. Ini disebabkan oleh kebutuhan para guru untuk mengenalkan konsep pendidikan yang adil sejak dini.

Galih merasa bahwa gelar Sarjana dalam bidang Pendidikan Guru SD tidak mencukupi sebagai persiapan yang memadai untuk menjadi seorang guru. Dia merasa perlu mendapatkan lebih banyak pengetahuan.

Sebagai perempuan Indonesia pertama yang mengikuti program studi tersebut di UCL, yang merupakan salah satu universitas terkemuka di dunia, Galih mencapai prestasi yang luar biasa. Menurut peringkat Quacquarelli Symonds World University tahun 2023, UCL menempati peringkat kesembilan sebagai universitas terbaik di dunia.

Galih menyadari adanya ketidakseimbangan dalam kualitas pendidikan, literasi, dan pemahaman kritis pedagogi antara Indonesia dan Inggris. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan pribadi yang mendorongnya untuk terus mengejar ilmu pengetahuan lebih lanjut.

“Saya disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah, ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan. Mungkin ini jadi salah satu dosa besar para pendidik di zaman dulu gitu ya,” kata Galih, dikutip Tempo dari laman LPDP pada Senin, 27 November 2023.

Setelah satu tahun berlalu, Galih menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia untuk mewujudkan impian tersebut. Saat ini, ia mengajar di Sekolah Dasar Petojo Utara, Jakarta Pusat.

Ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga yang bergerak di bidang pendidikan, Galih memiliki latar belakang keluarga pendidik. Orang tua, bibi, dan pamannya semua adalah guru, dan mereka sangat berharap agar Galih juga memilih jalur yang sama.

Meskipun awalnya enggan menjadi guru dan bermimpi mengejar profesi lain yang lebih kompleks daripada sekadar mengajar, kehidupan membawanya terus ke arah pendidikan. Akhirnya, Galih memulai karirnya sebagai pendidik ketika bergabung dengan lembaga pendidikan yang fokus pada bidang Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika (STEM).

Saat itu, Galih sudah menyelesaikan kuliahnya dan hanya menunggu jadwal wisuda di Universitas Negeri Jakarta. Selama aktif di lembaga tersebut, ia berinteraksi dengan siswa-siswa yang mahir berbahasa Inggris dan terpapar kurikulum Amerika Serikat. Mereka mayoritas berasal dari lapisan ekonomi menengah ke atas.

Pengalaman mengajar di sekolah-sekolah elit bertaraf internasional di Jakarta menjadi awal munculnya keprihatinan di dalam diri Galih. Ia merasa gelisah karena melihat ketidaksetaraan kualitas pendidikan antara anak-anak dari kelas menengah atas dengan mereka yang tidak mendapatkan akses sebanding.

Maka, Galih memutuskan untuk lebih fokus pada perencanaan dan kebijakan pendidikan, yakin bahwa hal ini dapat berdampak positif pada perkembangan siswa dan pertumbuhan ekonomi negara. Keputusan ini yang kemudian membawa Galih melanjutkan studi S2-nya di Inggris.

Ia berprinsip pendidikan memiliki interseksi dengan banyak hal. Misalnya kesehatan, perdamaian, keadilan sosial, ekonomi hingga pemenuhan hak asasi manusia. “Jadi, sudah kepikiran apa yang mau dilakukan. Sepertinya itu yang memudahkan jalan untuk bisa diterima beasiswa LPDP,” kata Galih.

Mempelajari literasi, mengelola emosi, hingga mengurangi kekerasan merupakan bagian dari pengalaman belajar Galih di Inggris. Selama berada di sana, dia menyadari bahwa setiap negara memiliki tantangan khususnya, yang memerlukan pendekatan formulasi yang berbeda.

“Sebenarnya, tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara. Tapi kalau saya boleh cerita apa yang membuat pendidikan di Inggris lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia adalah literasi,” ujar Galih.

Galih mencatat bahwa budaya literasi, terutama kebiasaan membaca buku, merupakan hal yang umum di masyarakat Inggris. Ia mencermati kemudahan mendapatkan buku di tempat umum sebagai sumber pengetahuan dan juga mengamati praktik orang tua yang menanamkan tradisi membaca kepada anak-anak di rumah.

Informasi dan wawasan yang diperoleh melalui kegiatan membaca buku membantu anak-anak yang mendapat pendidikan di Inggris untuk dapat dengan mudah berargumen di depan umum. Galih menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia, yang mencakup Profil Pelajar Pancasila dengan salah satu poinnya adalah kemampuan berpikir kritis.

Namun, menciptakan karakter bernalar kritis pada siswa menjadi tantangan ketika para pendidik belum mencapai level yang setara. Galih menekankan pentingnya memiliki semangat mandiri untuk terus mengembangkan diri dan rajin membaca buku dalam mencapai tujuan tersebut.

“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya. Menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2, kita belajar untuk bisa memformulasikan opini, ” ujar Galih.

Luasnya wawasan dan pengetahuan guru juga dapat dipakai untuk memahami dan mengenalkan pengelolaan emosi kepada anak didik dan mitigasi kekerasan. Galih melihat bahwa fenomena bullying, diskriminasi, dan kekerasan pada anak semakin parah. Itu semua, kata Galih, bermuara dari kegagalan mengidentifikasi dan mengenalkan permasalahan tersebut.

“Pertama, mengenali dan mengidentifikasi emosi. Kedua, bagaimana mengolah emosi, khususnya emosi-emosi negatif. Ketiga, saya juga mengenalkan jenis-jenis kekerasan. Sehingga, mereka paham bahwa tidak semua candaan yang mereka anggap lucu itu, dianggap lucu oleh orang lain. Bisa jadi itu menyakitkan. Itu ada hubungannya dengan regulasi emosi,” kata Galih.

Membentuk komunitas Bekal Pendidik

Sejak 2020, Galih mengabdi sebagai guru SD. Ia juga berkontribusi dalam penyusunan modul pendidikan dasar. Ia ikut menulis modul peningkatan pengajaran literasi numerasi untuk Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan, menjadi penyusun Capaian Pembelajaran Bahasa Inggris, hingga beberapa program lain.

Galih membentuk komunitas Bekal Pendidik yang berisikan calon guru atau guru-guru muda sejawat. Sederhananya, komunitas ini sebagai wadah kawan sejawatnya untuk mengaktualisasi diri serta mengulik isu-isu pendidikan terkini. Inisiasi ini muncul ketika masa pandemi Covid-19 yang memaksa sistem pendidikan dan pengajaran dilaksanakan secara daring.

Bekal Pendidik juga berkembang sebagai platform mentorship beasiswa yang dikhususkan bagi lulusan Sarjana Pendidikan yang ingin melanjutkan ke Magister Pendidikan. Mereka akan belajar mengenai paradigma Merdeka Belajar hingga teori dan metode pendidikan.

“Seperti paradigma tentang Merdeka Belajar itu seperti apa, filosofi-filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara itu bagaimana, dan banyak sekali teori maupun metode pendidikan yang menurut saya justru saya pelajari itu bukan di Indonesia. Itu jadi satu kekhawatiran dan keresahan yang menurut saya menggugah untuk bisa saya tularkan ke teman-teman calon pendidik.” ujar Galih.

Baca Juga : Petarung Asal Sumut Jeka Saragih Menang di UFC

Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari tiroe.comUntuk kerjasama lainnya bisa kontak email atau sosial media kami lainnya.

Exit mobile version