Lebih dari satu tahun Polri mengawal, patroli, siaga dalam upaya menekan penyebaran Covid 19, siang malam tak kenal lelah. PPKM Mikro, PPKM darurat, PPKM Level 4 semua melibatkan seluruh anggota Polri khususnya Bhabinkamtibmas dan Polisi lalu lintas dalam upaya penyekatan. Sangat berpotensi untuk stres. Adakah gesekan antara satuan Bhabinkamtibmas dan Polantas di Lapangan? Solusinya?
Jakarta – (16/08/2021). Tersebar sebuah video yang menampilkan 3 orang polisi cekcok mulut di batas penyekatan yang terletak di jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru. Video tersebut kini viral di media sosial, baru-baru ini. Dalam video berdurasi 29 detik tersebut tampak seorang polisi dari Bhabinkantibmas menggunakan sepeda motor hendak masuk ke batas penyekatan di lokasi tersebut. Saat hendak masuk, awalnya polisi tersebut sempat berdebat dengan polisi laki-laki yang berjaga di lokasi.
Tak lama kemudian, datang seorang polisi wanita yang diketahui berpangkat AKBP langsung menegur dan melarangnya untuk menerobos penyekatan. “Kau polisi kan? Kau polisi nggak? Hargai polisi, kau jangan kurang ajar kau,” ujar perwira polwan Dit Lantas Polda Riau itu. Bukan hanya menegur, polwan itu juga sempat mengancam akan melaporkan Bhabinkamtimbas ke Kapolda Riau Irjen Agung Setya Imam Effendi. Lantaran dinilai tak taat aturan.”Ku laporkan ke Kapolda nanti, berani kau. Kau nggak bisa menghargai sesama kau. Jangan kau kayak gitu,” kata polwan itu. Sementara menanggapi video tersebut, Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Riau, AKBP Donni Eka Syaputra mengatakan insiden tersebut hanya salah paham saja. “Iya benar, kejadian pagi tadi sekitar pukul 09.30-10.00 Wib. Lokasi di persimpangan Jalan Tuanku Tambusai- Jenderal Sudirman,” kata dia.
Menurutnya, Bhabinkamtibmas tersebut bukan dilarang melintas, hanya disarankan untuk bersabar lantaran kemacetan terjadi cukup parah. Sebab, sebagai petugas meski memberikan contoh yang baik walau memang polisi termasuk instansi yang diperbolehkan lewat penyekatan. “Itu mau diingatkan, ya jangan menerobos. Berilah contoh pada masyarakat, itulah ya intinya, karena memang polisi boleh lewat, tapi ya sabar, nanti orang jadi ikut nerobos juga kalau tidak sabar,” katanya.
Insiden Daan Mogot
Keributan serupa juga terjadi antara polisi dan anggota Paspampres di pos PPKM darurat Daan Mogot, Jakarta Barat (Jakbar). Kompolnas pun memberi saran agar peristiwa serupa tak terulang lagi. “Dalam kondisi darurat saat ini, memang semua pihak harus saling menjaga diri dan memahami aturan yang sedang diberlakukan. Di satu sisi aparat yang menegakkan aturan harus tegas, namun tetap dengan menggunakan bahasa yang santun karena masyarakat sedang stres agar pesan dan arahannya diterima dengan baik,” ujar Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto.
Benny mengatakan semua pihak yang terkena penyekatan di pos PPKM darurat juga perlu menahan diri. Dia meminta kedua belah pihak tidak saling melakukan provokasi. “Di sisi lain, masyarakat atau pihak yang kena penertiban juga perlu menahan diri dan menjelaskan dengan baik alasannya sehingga terbangun komunikasi yang enak. Kita tidak perlu memperuncing situasi dengan terpancing provokasi pihak yang tidak bertanggung jawab,” tuturnya. Dia menilai masalah di Jalan Daan Mogot itu bisa menjadi pelajaran untuk pelaksanaan penyekatan saat PPKM darurat. Menurutnya, masalah ini sudah diselesaikan dengan baik oleh atasan dari masing-masing pihak yang terlibat keributan.
“Kasus ini bisa jadi pembelajaran bagi kita semua supaya tidak terulang karena kita sedang menghadapi kondisi darurat COVID-19 ini. Masalah sudah diselesaikan dengan baik oleh para atasannya. Anggota Polri juga sudah diminta keterangannya atas sikap dan tindakannya,” ucap Benny. Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menyebut kericuhan antara anggota Paspampres dengan polisi tidak perlu diperpanjang. Poengky menyebut tidak perlu ada institusi yang merasa terluka. “Saya rasa hal seperti itu tidak perlu terjadi. Kalau toh sudah terjadi karena adanya kesalahpahaman, segera selesaikan masalah ini hingga tuntas. No hard feelings. Tidak perlu merasa ada institusi yang dilukai. Masing-masing sama-sama sedang melaksanakan tugas. Cukup diselesaikan dengan saling memaafkan dan tidak perlu diperpanjang,” kata Poengky.
Diketahui, peristiwa itu terjadi pada Rabu (7/7) di pos penyekatan Daan Mogot, Jakbar, dan viral di media sosial. Saat itu anggota Paspampres Praka IG diamankan sejumlah petugas.
“Kalau kamu Paspampres, kenapa memang?” ujar seorang polisi seperti dilihat dalam video yang beredar. “Iya, saya salah,” ujar Praka IG. Kemudian sejumlah anggota TNI yang bertugas di penyekatan memeriksa Praka IG. “KTA-mu mana?” tanya anggota TNI. Kapolres Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo meminta maaf atas kejadian itu. Ady menjelaskan dirinya sudah menghadap ke Danpaspampres untuk konsolidasi. “Saya barusan sudah menghadap Danpaspampres untuk konsolidasi supaya permasalahan di lapangan lebih baik. Sudah beres kok, nggak ada masalah,” kata Ady saat. “Saya meminta maaf dengan kejadian itu. Barusan saja selesai ngadep (Danpaspampres),” imbuhnya.
Potensi Gesekan
Tugas TNI dan Polri memang selalu bersiaga baik dalam kondisi aman maupun rawan. Maka dari itu, adalah kondisi yang sangat mungkin seringkali terjadi gesekan baik diantara sesama anggota Polri maupun antara Polri dengan TNI. Menurut pengamatan, sejak awal merebaknya pandemi Covid 19 pada Maret 2020 lalu, peran TNI dan Polri sangat strategis. Mulai dari sosialiasi Prokes, pelaksanaan tracing, tracking dan treatment, penyekatan dalam masa PPKM. Payung operasinya dikenal dengan dengan Operasi Aman Nusa I dan II. Hampir tidak ada satu pun kegiatan penanganan pandemi yang tidak melibatkan Polri. Terakhir, Polri juga saat ini tengah mengejar target tercapainya satu juta vaksinasi untuk masyarakat umum.
Sejauh ini, koordinasi di lapangan antara TNI dan Polri sangat baik dalam penanganan pandemi ini. Beberapa contoh di muka yang telah disampaikan yakni konflik antara anggota Bhabinkamtibmas dan Polantas di Pekanbaru dan Daan Mogot Jakarta barat, boleh jadi hanya gesekan kecil yang perlu dipahami hanya sebagai kesalahpahaman dan tak perlu diperpanjang. Hari ini, Polri justru telah banyak memberikan baktinya kepada masyarakat dan bangsa Indonesia dalam penanganan Pandemi Covid19. Konflik atau gesekan yang terjadi selama Pandemi sangat jarang atau minor dan tidak membahayakan. Dalam hal ini, Polri sesungguhnya sudah dapat dinilai berhasil dalam mengendalikan potensi konflik internal dalam penanganan pandemi selama selama lebih dari satu tahun. Konflik di tingkat operasioanal sangat jarang terjadi dan berakibat fatal. Dalam sejarah Polri, justru konflik internal di level pimpinan dan perwira menengahlah yang seringkali berakibat dan berdampak besar.
Konflik Antar Faksi
Sejak rencana pengangkatan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, soal konflik ini juga banyak disinggung. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut integritas dan idealisme Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo akan diuji ketika resmi menjabat sebagai Kapolri. Khususnya dalam menghadapi beragam konflik kepentingan yang ada di internal Polri. Hal itu dikatakan Bambang merespons pernyataan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang menyebut banyaknya konflik internal antar faksi di institusi Polri. Menurut Bambang, hal itulah yang menjadi salah satu tantangan Listyo sekaligus ujian terhadap integritas dan idealismenya jika resmi menjabat orang nomor satu di Korps Bhayangkara.
“Tantangannya adalah tarikan-tarikan yang kuat dari berbagai kepentingan dan faksi-faksi di internal. Dan di sini integritas dan idealisme Pak Listyo akan diuji, mampu tidak menahan godaan-godaan itu,” kata Bambang. Di sisi lain, sebagai angkatan muda yang melangkahi banyak seniornya, Listyo juga perlu melakukan konsolidasi ekstra terhadap beberapa kelompok di internal Polri. Tak sekadar menyatukan kelompok tersebut, tetapi juga menyatukan visi. “Menyatukan dalam satu visi membangun pondasi untuk masa depan Polri. Apakah Polri hanya akan jadi penjaga kepentingan rezim, atau kepentingan negara?,” katanya.
Novel Baswedan, penyidik KPK, sebelumnya membongkar aib besar Polri yang harus segera diselesaikan oleh Listyo ketika menjabat sebagai Kapolri. Dalam kicauan di akun Twitter pribadinya @nazaqistsha, penyidik senior KPK sekaligus eks anggota Polri itu mengingatkan bahwa ada pekerjaan rumah yang cukup berat menanti Kapolri yang baru. Terutama menyelesaikan konflik di internal Polri. Ia menyebutkan adanya sebuah fragmentasi di dalam tubuh Polri yang membuatnya sulit untuk melakukan reformasi.
“Banyak faksi di Polri yang sarat kepentingan dan saling menyandera. Sehingga pimpinan Polri tidak berani mereformasi Polri menjadi institusi yang dipercaya,” tulis pesan tersebut seperti dikutip dari Hops.id. Meski punya tantangan besar yang harus dihadapi, Novel Baswedan berharap Listyo berani melakukan reformasi di internal Polri. “Semoga Komjen Listyo Sigit, calon tunggal Kapolri adalah pribadi yang berani dan antikorupsi. Sehingga Pak Sigit berani perbaiki Polri,” tutupnya.
Dari masa ke masa
Konflik di tubuh Polri ini sudah banyak terjadi dan sangat berdampak besar. Presiden Joko Widodo berhasil melantik Kapolri ke-25, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo secara mulus. Namun sejarah mencatat, gara-gara pelantikan Kapolri baru, seorang Presiden RI dilengserkan DPR RI. Itu adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur dengan Kapolri ke-16, Jenderal Polisi Surojo Bimantoro. Abdurrahman Wahid mengganti Jenderal Polisi Surojo Bimantoro dengan Jenderal Polisi Chairuddin Ismail membuat konflik internal di dalam tubuh korps Bhayangkara.
Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo adalah seorang perwira tinggi Polri yang ditempatkan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak tanggal 27 Januari 2021, menggantikan Idham Azis. Masa jabatan bisa panjang bahkan hingga Presiden Joko Widodo turun dari jabatannya. Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo masih lama pensiun yakni tahun 2027. Lalu, apakah Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menjabat hingga 2027? Itu menjadi keputusan Presiden Joko Widodo dan pengganti Joko Widodo 2024 mendatang.
Dalam catatan, Kapolri paling lama menjabat adalah kapolri pertama, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo selama 14 tahun. Sementara itu, tersingkat adalah Jenderal Polisi Chairuddin Ismail. Masa jabatannya hanya 2 bulan. Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail (lahir 27 Desember 1947; umur 73 tahun) adalah pensiunan perwira Polri. Ia pernah menjadi Pejabat Sementara Kapolri menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro. Saat itu, masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.
Tetapi belakangan, muncul ironi baru Gusdur “memecat” Bimantoro dan mengangkat Chairuddin tanpa persetujuan parlemen. Kisruh pun terjadi di dalam internal Polri. Padahal, Bimantoro baru menjabat 1 tahun dua bulan. Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya. Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden. Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada. Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi. Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan. Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden. Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti “doa politik” mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.
Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur. Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan. Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri. Namun, Bimantoro menolak. Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001. Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen. Pengangkatan Chairuddin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.
Masalah Polri Makin Meruncing
Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.
Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat. Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin dicopot dari jabatannya. Megawati menunjuk Jenderal Polisi Dai Bachtiar. Itu antara lain konflik yang sangat dramatis yang pernah terjadi di tubuh Polri.
Perang Dingin dan Mutasi
Konflik internal juga pernah terjadi di masa kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian. Usia jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri di tangan Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto ternyata tak panjang. Belum sampai satu semester, lulusan Akademi Kepolisian 1987 itu sudah dimutasi ke jabatan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri. Inspektur Jenderal Idham Azis yang sebelumnya menjabat Kapolda Metro Jaya dipercaya menggantikan Arief. Sementara kursi Kapolda Metro Jaya yang ditinggalkan Idham diserahkan kepada Irjen Gatot Eddy Pramono, yang saat ini menjabat sebagai Asisten Kapolri bidang Perencanaan Anggaran (Asrena).
Mutasi ini tertuang dalam surat telegram bernomor ST/188/I/KEP.2019 tertanggal 22 Januari 2019 dan telah dikonfirmasi oleh Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Mohammad Iqbal. Surat telegram tersebut pun telah ditandatangani oleh Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Eko Indra Heri. Bicara Kabareskrim, belum banyak prestasi yang ditorehkan oleh Arief dalam usia jabatannya yang seumur jagung. Beberapa kasus mangkrak yang diestafetkan oleh Komjen Ari Dono Sukmanto saat dimutasi dari Kabareskrim ke jabatan Wakapolri pun belum terselesaikan hingga akhir masa kepemimpinan Arief di Bareskrim. Beberapa kasus itu antara lain dugaan makar sejumlah tokoh dalam Aksi 212 yang berlangsung 2 Desember 2016, teror penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang terjadi 11 April 2017, hingga beberapa kasus lain yang sempat mendapatkan sorotan tajam publik. Mutasi Arief ini pun memunculkan beragam pertanyaan di tengah publik. Selain karena masa jabatan yang singkat, mutasi ini juga terjadi di tengah kabar hubungannya yang tidak harmonis dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Pengamat kepolisian dari Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengamini kabar hubungan yang tidak harmonis itu. Dia menilai, mutasi Arief dari Kabareskrim ke Kalemdiklat merupakan solusi tepat yang diambil Tito untuk mengakhiri ‘perang dingin’ dengan Arief.
Menurut dia, perang dingin antara Tito dan Arief yang terjadi sejak sekitar dua bulan terakhir telah mengganggu soliditas internal Polri. Apalagi seorang Kabareskrim secara tugas, fungsi, dan peran bertanggung jawab langsung kepada Kapolri. “Ini langkah tepat untuk akhiri perang dingin di elite Polri dalam rangka membangun soliditas, karena ini mau pemilu, di mana Polri harus solid,” kata Neta. Di sini Neta menambahkan, ‘perang dingin’ antara Tito dengan Arief dipicu oleh isu pengkhianatan. Menurut dia, aksi pembangkangan terhadap pemimpin Polri menjadi hal yang menyelimuti isu tersebut. Neta melanjutkan, lahirnya isu tersebut sebenarnya hanya mengganggu soliditas dan menimbulkan ketidaknyamanan anggota Polri lain dalam bekerja. Di sisi lain isu tersebut tidak mengganggu kinerja Polri secara institusi.”Informasi yang saya dapat di internal Polri, konflik itu terjadi karena isu pengkhianatan. Itu sudah berlanjut beberapa bulan terakhir dan sangat mengganggu. Terjadi aksi mbalelo terhadap pimpinan,” ujarnya.
Tangga Idham Gantikan Tito
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Khairul Fahmi menilai mutasi ini memasukkan nama Idham ke dalam kotak persaingan calon Kapolri pengganti Tito yang sempat menyatakan ingin pensiun dini. Bukan rahasia lagi, sudah sejak lama posisi Kabareskrim sangat strategis. Beberapa dari mereka yang jadi Kapolri merupakan sosok-sosok yang ‘lulus’ sebagai Kabareskrim. Sebut saja Jenderal Bambang Hendarso Danuri pada 2010 dan Jenderal Sutarman pada 2013. Selain persoalan jabatan strategis, kedekatannya dengan Tito juga membuat Idham turut diperhitungkan menjadi sosok yang bakal melanjutkan estafet tongkat komando pemimpin Korps Bhayangkara.
“Tangganya ya (jadi pengganti Tito). Idham cukup dekat dengan Tito. Saya kira tidak lepas dari konstelasi itu juga,” ujar dia. Ia pun mengamini, Tito terlihat tengah menyiapkan sosok penggantinya lewat mutasi ini. Menurut dia, berbagai isu seperti terkait ‘Buku Merah’ semakin menambah beban Tito untuk terus memimpin Polri. ‘Buku Merah’ dimaksud itu terkait perkara korupsi impor daging yang melibatkan pengusaha Basuki Hariman. Kasus ini mendapat sorotan tajam publik setelah diungkap IndonesiaLeaks pada Oktober 2018 silam lantaran Tito disebut sebagai salah satu pihak yang menerima suap.”Terlepas dari pernyataan Tito mau pensiun lebih awal, memang ada banyak catatan, termasuk pengaruh Buku Merah itu misalnya,” kata Khairul. “Itu mempengaruhi persepsi banyak pihak pada kepemimpinan Tito. Mungkin itu juga jadi beban tambahan ketika dia harus terus memimpin Polri,” tuturnya. Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membantah mutasi ini merupakan solusi Tito untuk mengakhiri ‘perang dingin’ dengan Arief. “Tidak ada itu,” kata Dedi.
Menurut dia, mutasi ini merupakan hal yang biasa dalam Polri sebagai bagian dari penyegaran organisasi. “Sebagai tour of duty personel Polri. Juga sebagai penyegaran sehingga Polri semakin kuat dan optimal dalam melindungi, melayani, mengayomi, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum,” ucap Dedi. Ya boleh saja berpendapat beda. Namun belakangan kebenarannya terlihat, Idham Azis menjadi Kapolri dan digantikan oleh Listyo Sigit Prabowo. Itulah antara beberapa konflik dan gesekan yang terjadi dalam internal Polri. Benar apa yang disebutkan dalam teori manajemen organisasi tentang perbedaan white collar dan blue collar. Pekerja kerah biru (klerek) jumlahnya bisa menjacapai 80%, sedangkan pekerja kerah putih (staf) hanya 20%. Tetapi dalam hal kontribusi ke perusahaan, staf yang jumlah hanya 20% justru mempunyai kontribusi sebesar 80% atau lebih. Sedangkan kerah biru berkontribusi hanya 20%. Inilah hukum Parreto 80:20. Dalam hal organisasi Polri, agaknya memiliki kemiripan. Konflik apapun di level rendah, seringkali tidak akan berpengaruh besar karena level kompleksitas masalahnya juga relatif rendah. Namun bila konflik internal itu terjadi di level perwira menengah dan tinggi, biasanya akan berdampak besar, demikian luas cakupan masalah dan pihak yang terkait. (Saf).