Barisan Aksi Masyarakat Bandung Raya (BAMBR) menyayangkan aksi demonstrasi menolak penerapan PPKM darurat di Kota Bandung, Rabu (21/7), berakhir dengan kericuhan. Mereka menilai pemberlakuan PPKM yang dilakukan mulai dari pusat hingga daerah tidak berdampak terhadap pengendalian Covid-19. Sebaliknya, kebijakan itu malah menyengsarakan masyarakat.
Jakarta – (24/07/2021). Demo penolakan PPKM Darurat terjadi di beberapa kota. Dimulai dari Bandung Jawa Barat. Setelah menggelar orasi, massa kemudian melakukan longmarch ke Gedung Sate. Namun, saat tiba di kawasan perempatan Jalan Dago-Sulanjana, massa yang tak terkendali menutup jalan. “Kericuhan yang terjadi pada aksi ini membuat tujuan utama dari aksi ini pun gagal terealisasi. Di mana tuntutan-tuntutan yang dibawa dalam aksi ini antara lain, penghapusan PPKM dan tuntutan mengenai elektabilitas dan kinerja pemerintah,” kata Aditya, salah satu koordinator aksi.
Menurut dia, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam menekan penyebaran corona sangat memberatkan rakyat. PPKM dirasa telah menyengsarakan rakyat karena banyak akses dan kegiatan yang dibatasi. “Terlebih lagi adanya pembatasan jam untuk para pedagang penutupan jalan yang berlebih, serta penutupan berbagai akses ekonomi dan kebutuhan sekunder yang berimbas pada roda perekonomian yang tersendat,” ujarnya.
Aditya menjelaskan, di masa PPKM banyak toko yang harus ditutup. Selain itu, pedagang dan pelaku usaha lapangan semakin sepi dan semakin terbatas. “Tidak bisa disalahkan jika masyarakat acap kali masih melanggar kebijakan karena masyarakat kecil yang tersendat roda perekonomiannya terpaksa untuk terus mengais rezeki demi menyambung hidupnya. Pilihan mereka adalah bertaruh dengan covid dan kebijakan pemerintah atau mati kelaparan,” tuturnya. Menurut Aditya, aksi demonstrasi awalnya berlangsung damai. Namun di pertengahan, aksi berjalan di luar kendali dan tidak berjalan sesuai yang telah direncanakan. “Hal ini disebabkan karena adanya oknum tidak bertanggung jawab yang mengambilalih dan menunggangi aksi. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya dalam setiap aksi akan selalu ada pihak yang memiliki ego serta awamnya sebagian kalangan mengenai tujuan serta sasaran utama dari aksi yang diselenggarakan sehingga setiap aksi rentan ditunggangi,” kata dia.
Aditya mengatakan, aksi yang berlangsung siang tadi kurang berjalan dengan sempurna. Itu terjadi karena massa tidak terkendali dan mudah terprovokasi sehingga kericuhan pun tidak dapat terhindari. “Seharusnya aksi lebih menyoroti kebijakan-kebijakan yang telah dicanangkan oleh pemerintah namun dirasa sangat tidak memanusiakan manusia dan terlebih lagi jauh dari kata untuk melindungi masyarakat,” ucapnya. Mereka tampak membawa spanduk dan poster berisi protes PPKM darurat. ‘Bandung sekarat, Wali Kota ngapain? PPKM membuat rakyat melarat’ bunyi pesan dari spanduk yang dibentangkan massa aksi.
Pelan-pelan Kita Mati
Peserta aksi juga tampak membentangkan poster berisi tulisan ‘PPKM (Pelan-pelan Kita Mati)’. Tak sampai di situ, massa aksi menggelar orasi memprotes penerapan PPKM. Mereka lantas bergemuruh meneriakkan ‘Tolak, tolak, tolak PPKM. Tolak PPKM sekarang juga’. Para demonstran mengungkapkan PPKM telah merampas hak hidup masyarakat tidak hanya di Ibu Kota tetapi juga di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Bandung. Kebijakan PPKM dianggap mematikan perekonomian di daerah.
Putra (28), salah seorang pedagang di pusat perbelanjaan elektronik yang mengikuti aksi demonstrasi mengatakan PPKM telah menyengsarakan dirinya karena tidak bisa berjualan selama lebih dari dua pekan. “Kami sangat dirugikan sebagai pedagang khususnya pedagang BEC. Kontrakan tetap harus dibayar, tidak ada keringanan, apakah ini solusinya? Ada aturan harusnya ada solusi,” kata Putra. Menurut Putra, langkah pemerintah dan pihak kepolisian menutup jalan telah memutus perekonomian. Akibatnya, istri dan anaknya menderita kelaparan. “Istri dan anak kami harus makan sementara bapak digaji enak. Penutupan jalan tidak efektif bagi kami,” ujarnya.
Hal senada juga dikeluhkan ojek online. Galih Azka (30) mengaku pendapatannya berkurang lantaran biaya bahan bakar naik daripada biasanya. “Jalan ditutup kita tambah susah. Habis bensin banyak, kalau biasa Rp20 ribu, sekarang harus keluarin Rp35 ribu,” tuturnya. Galih berharap pemerintah membuka akses jalan agar pendapatannya kembali naik. “Saat PPKM sehari dapat Rp32 ribu, padahal biasa bisa sampai Rp100 ribu lebih,” ucapnya.
Dilonggarkan Kalau?
Itu beberapa keluhan dan alasan riil masyarakat menolak PPKM Darurat. Bagaimana respon pemerintah ? Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan PPKM darurat akan dilonggarkan hanya jika kasus Covid-19 turun. “PPKM Darurat baru akan dilonggarkan bertahap apabila tren kasus Covid-19 menurun,” tulis Jokowi lewat akun Twitter @jokowi. PPKM Darurat seharusnya berakhir kemarin, Selasa (20/7). Namun pemerintah melakukan perpanjangan hingga 25 Juli. Presiden Jokowi menyebut pemerintah akan melakukan pelonggaran bertahap jika kasus menurun dalam lima hari ke depan.
Perpanjangan PPKM dituangkan dalam Instruksi Mendagri Nomor 22 dan 23 Tahun 2021. Na mun, tak ada lagi nama PPKM Darurat. Pelaksanaan PPKM dibarengi penyaluran bantuan sosial untuk mengurangi beban warga yang terdampak pandemi. Pemerintah menggunakan nama PPKM Level 4 untuk pembatasan di 124 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Pembatasan serupa juga berlaku di 15 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali. Untuk daerah lainnya, pemerintah menerapkan PPKM Mikro.
“Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia yang menginstruksikan agar melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 (empat) Corona Virus Disease (COVID-19) di wilayah Jawa dan Bali,” dikutip dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021. PPKM level 4 ini akan berlaku 21 Juli 2021 hingga 25 Juli 2021. Pemerintah akan mengoptimalkan seluruh kekuatan dalam lima hari ke depan untuk menurunkan laju penurunan kasus Covid-19. Lima hari ke depan menjadi pertaruhan pemerintah untuk menurunkan covid-19.
Menurut Jokowi, bila kasus mengalami penurunan, tanggal 26 Juli 2021, PPKM level 4 akan dilonggarkan. “Pemerintah akan melakukan pembukaan bertahap,” ujar Jokowi dalam keterangan pers yang disiarkan lewat Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (20/7) malam. Namun, Langkah pemerintah menerapkan PPKM level 4, menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra tidak akan membuahkan hasil maksimal. Hermawan menyebut lima hari merupakan waktu yang singkat untuk menurunkan kasus covid-19 di Indonesia. Menurutnya, saat ini saja, jumlah kasus aktifCovid-19 masih tinggi.
“Saya rasa enggak signifikan ya. Malah kalau kita lihat kasus aktif sekarang 550 ribu lebih, 260 ribu di antaranya suspect. Positivity rate kita masih cukup tinggi. Kalau dalam kalkulasi statistik tidak mungkin ada penurunan signifikan dalam 5 hari ke depan,” ucap Hermawan. Per tanggal 19 Juli 2021, kasus positif covid-19 mencapai 34.257 orang. Kemudian pada Selasa (20/7), yang juga bertepatan dengan Hari Raya Idul adha angka tersebut bertambah lagi di kisaran 30 ribuan yakni 38.325 kasus baru. Tambahan 38 ribu lebih kasus baru itu menyebabkan total akumulatif kasus covid di Indonesia sejak 2 Maret 2020 menjadi 2.950.058 orang.
Belum Signifikan
Hermawan bahkan mengatakan PPKM darurat yang sudah berlangsung selama dua pekan kemarin juga belum menunjukkan hasil yang signifikan. Meski ada penurunan kasus harian pada Sabtu, Minggu, dan Senin lalu. Ia menilai, itu disebabkan karena jumlah tes yang rendah. “Target minimal 400 ribu hingga 500 ribu spesimen itu belum tercapai hingga saat ini. Padahal seharusnya sudah minimal 1 juta specimens rate per hari ya,” ucap dia. Dengan rendahnya jumlah tes, kata dia, penurunan kasus yang tercatat pada data Satuan Tugas (Satgas) covid-19 tidak mengindikasikan pagebluk di Indonesia terkendali.
“Memang kalau kita sebut terkendali itu beda dengan penurunan. Kalau penurunan hanya sedikit tidak signifikan kan semuanya belum tentu terkendali kan? Pemerintah sendiri belum menjamin testing secara konsisten. Ini testing masih lemah sekali. jadi sangat sumir kalau kita bicara tentang PPKM bisa menurunkan kasus,” jelas dia. Hermawan mengatakan penerapan PPKM level 4 selama lima hari tidak akan membuahkan hasil. Apa lagi, jika perpanjangan ini dijadikan acuan untuk menilai kondisi terkendali atau tidak. Ia menyebut minimal PPKM darurat diperpanjang sampai akhir Juli.
“Harusnya sampai akhir Juli ya, sampai tanggal 30, mestinya ya. Paling tidak ya untuk betul-betul mendapatkan efek optimal dari PPKM. Kalau lima hari, rasa-rasanya sangat nanggung, kecuali pemerintah butuh waktu untuk mengevaluasi lebih lanjut,” ucap dia. Dilihat dari perkembangan kasus covid-19 selama 16 hari PPKM Darurat dengan dibandingkan pada 16 hari sebelumnya, terlihat perbedaan kasus hingga mencapai dua kali lipat. Pada kasus konfirmasi positif covid-19 misalnya, pada periode 17 Juni-2 Juli jumlah kumulatif penambahan kasus positif covid-19 di Indonesia mencapai 291.286. Kemudian pada periode 3-18 Juli jumlah kasus positif covid-19 melonjak 2,2 kali lipat hingga 648.538 kasus.
Selanjutnya untuk kasus kematian covid-19, dalam kurun 17 Juni-2 Juli sebanyak 6.058 warga meninggal dunia, sementara pada periode 16 hariPPKM Darurat tercatat kasus naik 2,3 kali lipat menjadi 14.048 orang yang meninggal dunia. Adapun perkembangan selanjutnya, jumlah positivity rate alias rasio kasus warga terpapar virus corona harian juga mengalami peningkatan. Apabila dalam periode 17 Juni-2 Juli jumlahnya rata-rata di 21,56 persen. Maka pada 16 hari selama periode PPKM Darurat Jawa-Bali, positivity rate naik menjadi 28,6 persen.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas minimal angka positivity rate kurang dari 5 persen. Sehingga, apabila positivity rate suatu daerah semakin tinggi, maka kondisi pandemi di daerah tersebut memburuk sehingga perlu ditingkatkan kapasitas pemeriksaan Covid-nya. Melihat kondisi itu, Hermawan menilai pemerintah memang seharusnya mau tidak mau harus memperpanjang PPKM Darurat atau bahkan memilih untuk menyiapkan skenario kedua, yakni karantina wilayah alias lockdown.
Perlu Dipertegas
Hermawan menyebut lonjakan kasus Covid-19 di nusantara yang tak kunjung menunjukkan penurunan kasus selama 16 hari pelaksanaan PPKM Darurat Jawa-Bali dan 4 hari PPKM Darurat luar Jawa-Bali ini menjadi bukti bahwa pengetatan mobilitas warga perlu dipertegas. Ia memahami, memang hasil dari upaya pembatasan mobilitas warga akan terlihat pada 1-2 pekan pasca pemberlakuan, dalam hal ini maka hasil dari PPKM Darurat akan terlihat di akhir Juli. Namun, bukan menjamin 100 persen bahwa PPKM Darurat bakal berhasil menekan kasus secara signifikan.
Hermawan menilai alasan IAKMI mendorong pemerintah untuk memperpanjang PPKM Darurat atau lebih berani dengan mengambil kebijakan lockdown lantaran BOR rumah sakit rujukan pasien Covid-19 di Jawa-Bali maupun luar dua pulau itu masih belum mengalami penurunan. Pun dibuktikan dengan masih tingginya jumlah kasus aktif yang menunjukkan bahwa angka kesakitan warga masih tinggi. Ia juga menyebutkan selama PPKM Darurat ini angka kematian warga akibat Covid-19 meroket hingga melebihi 1.000 kasus per hari, apalagi banyak dilaporkan warga yang meninggal sebelum sempat mendapat perawatan di rumah sakit, bahkan meninggal saat menjalani isoman.
Hermawan mengatakan cerminan itu lantas memperlihatkan bahwa kondisi pandemi virus corona di Indonesia semakin buruk daripada periode sebelum-sebelumnya. Sehingga pembatasan mobilitas warga yang diharapkan menurunkan laju mobilitas dan penularan warga akibat virus bisa benar-benar terwujud. Hermawan mengatakan kemungkinan terburuk di mana perkembangan kasus covid-19 di Indonesia tidak menunjukkan pelandaian pasca-PPKM Darurat, maka mau tidak mau pemerintah harus berani mengambil keputusan bijak, yakni lockdown.
“Saya beberapa kali menyebutkan, kalau sampai akhir Juli kasus ini tidak mampu dikendalikan, maka sulit mengendalikan Indonesia. Karena laju yang luar biasa dikarenakan varian delta ini,” ujar Hermawan. Lockdown bukanlah barang haram atau selundupan dalam penanganan wabah hingga pandemi diIndonesia. Karantina wilayah itu diatur dalam UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Dalam undang-undang itu diatur bahwa karantina kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit, serta faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Hermawan menegaskan, seluruh analisis epidemiologi yang dibuat IAKMI telah disesuaikan dengan kondisi perkembangan pandemi Covid-19 terkini. Pun prediksi kegagalan PPKM Darurat, sehingga harus lockdown telah dilihat berdasarkan perkembangan varian-varian baru yang mulai mengintai Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mencatat sejauh ini sudah ada 681 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 yang digolongkan sebagai ‘Variant of Concern (VoC)’ di Indonesia.VoC merupakan varian yang diwaspadai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), mereka yakni B117 Alfa, B1351 Beta, dan B1617 Delta. Dari temuan itu, varian Delta mendominasi dengan 615 kasus. Dengan kondisi itu, kata Hermawan, IAKMI telah merekomendasikan agar pemerintah melakukan lockdown sejak Juni lalu. Dengan lockdown, maka tidak ada lagi subjektivitas warga yang menjalani mobilitas di dalamnya. Artinya, seluruh golongan hampir mendapatkan pembatasan mobilitas dengan porsi sama.
“Masyarakat menyampaikan keresahan karena ini sudah berlarut 16 bulan, semua kebijakan seolah tidak berdampak apapun. Jadi kesulitan ekonomi jalan terus, akhirnya muncul distrust, ketidakpatuhan yang pada akhirnya justru mobilitas jalan terus,” jelasnya. “Lockdown itu pilihan tidak populer, tapi seharusnya tegas untuk semua. Supaya tidak ada subjektivitas, semua orang berlaku yang sama. Lockdown itu efektif memutus rantai covid-19, tapi lockdown selalu dihindari karena memang mahal. Tetapi yang paling penting supaya kita tidak terkatung-katung,” tandas Hermawan.
Sebuah Keharusan
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Pandu Riono juga menilai perpanjangan PPKM Darurat Jawa-Bali maupun luar daerah dan mengubahnya menjadi PPKM Level 4 itu merupakan sebuah keharusan yang wajib dilakukan pemerintah. Pandu mewanti-wanti bahwa penerapan PPKM Darurat harus dilakukan secara menyeluruh tanpa terkecuali. Ia menyebut parameter dan peta-peta zonasi risiko sudah tidak lagi relevan, karena penyebaran penularan yang sudah luas dan terbilang sulit dikontrol saat ini.
“Kalau ada level-level itu, bagaimana cara mengukur? pemerintah bikin kriteria tapi tidak ada yang mengukur, seharusnya perlakuan sama seluruh daerah. Itu hanya akal-akalan saja, monitoringnya tidak benar, evaluasi juga tidak benar, susah banget,” jelasnya. Pemerintah sebenarnya menerapkan sistem level untuk mengukur situasi pandemi covid-19 di setiap daerah. Sistem ini mulai diberlakukan saat pemerintah menentukan wilayah peserta PPKM Darurat. Sistem ini dipakai dengan merujuk ketentuan-ketentuan dari WHO.
Laju penularan diukur dari jumlah kasus konfirmasi per 100 ribu penduduk, kasus yang ditangani di rumah sakit per 100 ribu penduduk, dan kasus meninggal per 100 ribu penduduk.
Dalam hal ini, level 4 menjadi kriteria tertinggi dalam sistem penilaian ini. Daerah dengan status level 4 mencatat lebih dari 150 kasus Covid-19 per 100 ribu penduduk, lebih dari 30 kasus yang dirawat di rumah sakit per 100 ribu penduduk, dan lebih dari 5 kasus meninggal per 100 ribu penduduk. Pandu juga menilai penerapan PPKM Level 4 harus benar-benar melakukan pengetatan pada mobilitas warga, serta menerapkan langkah edukatif dan humanis. Ia menilai sejatinya kadar penilaian akan kesuksesan dalam menekan mobilitas warga terletak pada kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan 3M yang meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Dengan melihat gesekan antara warga kelas menengah ke bawah dengan para aparat PPKM Darurat akhir-akhir ini, Pandu menilai bahwa esensi dari upaya edukasi warga soal 3M tak berjalan begitu baik. “Itu bodohnya kita, ngapain bergerak seperti itu, ada kekerasan, tinggal diedukasi saja. Kalau tidak pakai masker dikasih masker, daripada obat didistribusikan yang itu bahaya,” ujarnya. Ia menekankan bahwa seberapa hebatnya upaya di hilir yang berupa pemenuhan kesediaan faskes tidak akan berhasil, apabila upaya di hilir yang merupakan strategi 3T dan 3M tidak berjalan dengan apik. “3M jangan dianggap remeh, 3M paling penting dari itu semua, maka vaksin hanya jadi pendukung saja. Jadi kita harus serius di hulu, karena kalau tidak fokus, itu bakal banjir, terus mengalir dan derasnya bukan main,” kata Pandu.
Ambigu
Terpisah, pengamat hukum Andri W Kusumah menilai, sebaiknya pemerintah mengganti PPKM Darurat dengan karantina sesuai UU Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Menurutnya pemerintah terlihat ambigu dengan menerapkan PPKM level 4. “PPKM sebaiknya diganti dengan karantina, dan jangan ambigu lagi dalam mengambil keputusan, harus jelas dasar pijakan pengambilan keputusannya,” katanya. Pemerintah, kata dia, sebaiknya tegas dalam menentukan prioritas. “Apakah kesehatan atau ekonomi, akan tetapi, menurut saya harus tetap kesehatan didahulukan, mumpung uang negara masih mampu membiayai,” katanya.
Dia juga mengingatkan, penerapan PPKM level 4 ini harus diimbangi dengan dukungan bantuan dari pemerintah kepada masyarakat. “Jangan sampai pemerintah menghindar dari kewajiban untuk memastikan bahwa masyarakat yang terdampak tetap tercukupi pangannya,” kata dia.
Kebutuhan Dasar
Semakin jelas saat ini bahwa demo penolakan PPKM Darurat maupun PPKM Level 4, ttidak bisa 100 persen menyalahkan kepada pihak pendemo. Demo ini boleh jadi ini menjadi bukti bahwa di tengah pandemi, mengacu pada hirarki kebutuhan piramida Maslow, masyarakat pada umumnya kini telah bergeser kebutuhannya dari “puncak piramida” yaitu aktualisasi diri dan esteem ke “dasar piramida” yaitu makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.
Back to basic – itulah kenyataan dewasa ini khususnya di Indonesia. Setiap orang kini sibuk memastikan bahwa kebutuhan dasarnya atau sembako (Sembilan bahan pokok) bisa terpenuhi setiap saat. Di mata pengusaha, di satu sisi ini bisa menjadi hambatan, tapi bagi yang berpikir positif, keterbatasan ini justru harus dijawab dengan inovasi.
Inovasi tentu bisa dilakukan untuk pengusaha menengah, namun untuk pengusaha sektor informal seperti para pedagang kaki lima di Cikapundung Bandung, PPKM jelas merugikan. Pengurus Paguyuban PKL Cikapundung Barat Nandang Mulyana mengatakan, saat ini para pedagang telah terpuruk dengan aturan PPKM Darurat serta penyekatan yang dilakukan sejak 3 Juli lalu. “PPKM diperpanjang kami tidak menerima. PPKM sekarang saja tidak ada solusi buat kami. Bagaimana kami bisa bertahan hidup,” ujar Nandang.
Nandang juga berharap agar pemerintah memberikan solusi konkret, karena saat ini perekonomian pedagang sudah hancur. Bahkan, para pedagang di Cikapundung sudah mengibarkan bendera putih tanda telah menyerah dengan pandemi Covid-19. “Tolong pemerintah kalau bikin kebijakan kita juga dipikirkan dampaknya kami semua paham dengan kondisi ini dan kami juga sangat mendukung dengan kebijakan pemerintah, tapi tolong diseimbangkan dengan nasib kami,” jelasnya. “104 (pedagang) ini dipekerjakan apa kek sama pemerintah, yang penting ada hasil. Kalau harus gini terus, kami bingung,” ujar dia.
Nah, inilah akar persoalannya. Kalau sudah menyangkut kebutuhan dasar manusia, maka siapa pun akan bereaksi dan bagaimana pun caranya akan mencari jalan keluar untuk mendapatkan dan menyelamatkan diri dan keluarganya dari pandemi. Demo hanyalah dampak atau akibat dari sebuah kejadian. Yang paling tepat adalah kita harus menyelesaikan penyebabnya terlebih dulu sehingga akibatnya akan berkurang bahkan hilang. Inilah pertaruhan kinerja pemerintah maupun aparat keamanan khususnya Polri agar lebih bisa membaca situasi yang melatarbelakangi aksi demo. Pastikan perut rakyat kenyang, dapat dipastikan rakyat pun akan sepenuh hati mendukung seluruh kebijakan pemerintah. (SAF).