Isu Dehumanisasi dan Diskriminasi di Papua Nan Tak Kunjung Selesai

Dalam sepekan di akhir bulan Juli 2021, provinsi paling Timuur Indonesia yaitu Papua dikejutkan dengan dua video viral yang berisi dua aksi kekerasan aparat TNI-Polri. Video viral pertama berisi aksi dua oknum anggota Pomau Lanud Merauke, Papua, yang menginjak kepala dan melakukan kekerasan terhadap seorang pemuda warga setempat. Saat video viral itu masih ramai dibicarakan, beredar lagi rekaman video oknum polisi mengamankan warga dan melakukan pemukulan saat proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kampung Wonorejo TPS 7, Kabupaten Nabire, Papua menjadi viral di media sosial. Tak urung kedua video yang viral itu melambungkan lagi isu dehumanisasi dan diskriminasi orang Papua di Indonesia. Bagaimana tanggapan jajaran TNI-Polri dalam menyikapi dua aksi kekerasan aparatnya terhadap warga Papua? Apa sanksinya terhadap pelaku? Kenapa isu dehumanisas dan diskriminasi orang Papua masih saja ada? Apa dampaknya kedua isu tersebut di masa pandemi ini? Bagaimana mengatasinya?

 

Jakarta, 2 Agustus 2021 – Jajaran TNI mengambil sikap tegas sebagai buntut kekerasan oknum anggota AU terhadap seorang warga Merauke, Papua. Kasau Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mencopot Komandan Lanud Johanes Abraham Dimara (Lanud Dma) dan Komandan Satuan Polisi Militer Lanud Dma, Rabu (28/7/2021).  “Setelah melakukan evaluasi dan pendalaman, saya akan mengganti Komandan Lanud JA Dimara beserta Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (28/7/2021). KSAU menegaskan, pergantian ini merupakan pertanggung jawaban atas kejadian tindak kekerasan yang dilakukan oleh 2 oknum anggota Lanud Dma tersebut.   “Pergantian ini, adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kejadian tersebut. Komandan satuan bertanggung jawab membina anggotanya,” tegasnya. Dia juga memastikan proses penanganan kasus ini dilakukan secara transparan dan sesuai aturan yang berlaku. Adapun proses hukum terhadap kedua oknum TNI AU ini, telah memasuki tahap penyidikan yang dilakukan oleh Satpom Lanud Dma dan keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka Tindak Pidana.

“Serda A dan Prada V telah ditetapkan sebagai tersangka Tindak kekerasan oleh penyidik, saat ini kedua tersangka menjalani Penahan Sementara selama 20 hari, untuk kepentingan proses penyidikan selanjutnya,” ujar Kadispenau, Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah. Budi Karya Sumato Adapun sanksi hukuman yang dapat dijatuhkan kepada kedua tersangka, Marsma Indan berharap, semua pihak menunggu proses hukum yang sedang berjalan, sesuai aturan hukum yang berlaku di lingkungan TNI. “Saat ini masih proses penyidikan terhadap kedua tersangka, tim penyidik akan menyelesaikan BAP dan nantinya akan dilimpahkan ke Oditur Militer untuk proses hukum selanjutnya,” ungkap Marsma Indan. Proses hukum yang sedang dijalani oleh kedua oknum prajurit tersebut, terkait dengan kejadian di kota Merauke. Keduanya melakukan tindakan berlebihan saat mengamankan seorang warga yang terlibat cekcok dengan penjual bubur ayam di jalan raya Mandala-Muli, Merauke pada Senin (26/7/2021).

Sebelumnya TNI AU menjelaskan kronologi aksi dua oknum anggota Pomau Lanud Merauke, Papua, yang menginjak kepala dan melakukan kekerasan terhadap seorang pemuda warga setempat.  Akibat aksinya yang menjadi viral di media sosial tersebut, saat ini Serda D dan Prada V ditahan dan dalam proses penyidikan.  Kadispenau Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah mengatakan, kronologi kejadian berawal pada saat kedua anggota TNI hendak membeli makan di salah satu rumah makan Padang yang ada di jalan raya Mandala–Muli, Merauke.

 

Kejadiannya, Senin tanggal 26 Juli 2021 lalu.  “Pada saat bersamaan, terjadi keributan seorang warga dengan penjual bubur ayam yang lokasinya berdekatan dengan rumah makan Padang tersebut,” kata Kadispenau dalam keterangan persnya, Selasa (27/7/2021).   Dia menjelaskan, keributan itu disebabkan seorang warga yang diduga mabuk. Dia melakukan pemerasan kepada penjual bubur ayam dan juga kepada pemilik rumah makan padang dan sejumlah pelanggannya. Lalu, kedua anggota TNI AU itu berinisiatif melerai keributan. Serda D dan Prada V membawa warga yang membuat keributan tersebut ke luar warung.

Dia mengakui, pada saat mengamankan warga, kedua oknum anggota TNI AU itu melakukan tindakan yang dianggap berlebihan. “Kami menyesalkan tindakan berlebihan yang dilakukan oleh dua oknum anggota ini pada saat mengamankan warga,” katanya.  Marsma Indan mengatakan, menyikapi kejadian dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh dua oknum anggota TNI AU kepada salah seorang warga di jalan raya Mandala – Muli, Merauke itu, TNI AU akan bertindak tegas.  Setiap prajurit TNI AU yang melakukan tindakan pelanggaran akan diproses sesuai aturan hukum berlaku. Dia memastikan kejadian itu sudah ditangani oleh Satuan Polisi Militer Lanud Johannes Abraham Dimara (Dma), Merauke. “Kedua oknum anggota Lanud Dma ini sudah di tahan di Satpom Lanud Dma sejak Senin kemarin. Proses hukumnya sedang berjalan,” terang Kadispenau.

Setelah itu, rekaman video oknum polisi mengamankan warga dan melakukan pemukulan saat proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kampung Wonorejo TPS 7, Kabupaten Nabire, Papua viral di media sosial. Saat ini, kedua oknum anggota Polri tersebut sudah diperiksa Propam Polres Nabire, Rabu (28/7/2021). Dalam video tersebut, tampak seorang warga dibawa dua polisi berseragam lengkap menuju ke kendaraan petugas. Saat akan dinaikkan ke dalam truk, salah satu oknum polisi mendorong dan beberapa kali memukul bagian kepala warga tersebut.  Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri menyampaikan, kedua anggota tersebut yakni berinisial YW dan TR. Dia telah memerintahkan Propam Polres Nabire untuk menahan mereka. “Kronologi kejadian saat PSU Pilkada Nabire tersebut ada ketidakpuasan salah satu pemilih atas nama Nicolaus Mote yang memprotes di TPS. Sehingga ada respons dari anggota Polres Nabire untuk mengamankannya agar pelaksanaan PSU bisa berjalan lancar dan aman,” ujar Kapolda, Rabu (28/7/2021).

Dia menambahkan, anggota Polres Nabire cukup sigap dan tegas mengamankan warga demi keamanan PSU tersebut. Moderator Debat Pilpres 2019, Begini Persiapan Anisha Dasuki “Namun selaku Kapolda saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan kedua anggota Polres Nabire yang menurut saya itu sangat berlebihan,” katanya. Kapolda menuturkan permohonan maaf atas kejadian tersebut. Selaku pimpinan di wilayah hukum Polda Papua, dia tidak akan memberikan peluang bagi anggota yang melakukan hal-hal atau tindakan berlebihan terhadap masyarakat. Tegas boleh tapi tidak dengan kekerasan.

“Untuk saat ini anggota Polres tersebut sudah saya perintahkan untuk segera ditahan dan dilakukan pemeriksaan dan dibawa ke sidang,” ujar Kapolda. Diketahui, PSU Nabire diikuti tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati, yakni Paslon Nomor Urut 01 Yufinia Mote-Muhammad Darwis dan Paslon Nomor Urut 02 Mesak Magai-Ismail Djamaludin. Kemudian, Paslon Nomor Urut 03 Fransiscus Xaveriu. Jumlah pemilih sebanyak 86.064 orang yang menyalurkan suaranya di 304 TPS tersebar di 15 distrik.

 

Aksi Rasis Berbuah Aksi Kekerasan di Papua

Dua aksi kekerasan terhadap warga Papua mengingatkan kejadian serupa di tahun 2019, dimana ujaran kebencian dan rasisme menjadi mesiu yang membakar perdamaian di Papua. Akibat ucapan “rasis” terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Jawa Timur oleh oknum ormas yang saat itu mendemo di depan asrama mahasiswa Papua telah membuahkan hasilnya dengan aksi massa anarkis di Manokwari dan Sorong, Papua Barat pada 19 Agustus 2019. Lalu merembet ke Fakfak dan Timika dua hari berikutnya, seakan-akan menggambarkan kepada dunia internasional bahwa telah terjadi dehumanisasi di Papua, apalagi tanggal 19 Agustus 2019 diperingati sebagai hari dehumanisasi oleh masyarakat internasional.

“Bandwagon effect” dari propaganda ini kemungkinan berhasil seperti yang diinginkan aktor kerusuhan, yang katanya Badan Intelijen Negara (BIN) sudah memiliki data-datanya siapa dalang dan aktor kerusuhan di Papua Barat, dengan kata lain BIN tidak kecolongan dalam kasus di Papua ini. Tampaknya kata-kata oknum ormas yang mendemo “markas” mahasiswa Papua di Surabaya tidak mengetahui bahaya menggunakan kata-kata rasis dan menebar ujaran kebencian. Bagaimanapun juga, rasialisme dan bigotry bukanlah tindakan terpuji karena perilaku buruk tersebut dapat mencederai perasaan dan harga diri seseorang atau kelompok, tetapi juga tindak pelanggaran hukum yang serius.

Dalam perspektif hukum pidana, ujaran kebencian dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan Pasal 156 KUHP, yakni perbuatan-perbuatan yang dianggap menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan. Racial isme juga tidak lcalah serius. Perbuatan itu, menurut ketentuan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, terutama pada Pasa116, dapat dikenai pidana penjara 5 tahun. Disamping itu, pelaku rasialisme dan oknum mahasiswa Papua yang diduga merobek dan membuang bendera Merah Putih ke selokan air kurang menyadari bahwa di ea media sosial dan revolusi 4.0, magnitude dan momentum yang berkaitan dengan persoalan-persoalan itu dapat berefek ganda.

Tampaknya, proses penegakkan hukum yang tuntas baik terhadap pelaku rasialisme dan oknum mahasiswa Papua yang diduga merobek dan membuang bendera Merah Putih ke selokan air harus segera dilaksanakan sebagai bentuk shock therapy, sekaligus menunjukkan kenetralan negara dalam menangani masalah ini. Proses hukum yang sama juga harus dilakukan terhadap pelaku tindakan anarkistis di Sorong, Manokwari, Fakfak, dan Timika.

Di samping itu, masalah Papua membutuhkan penanganan yang komprehensif dan tidak bisa diselesaikan dengan instan. Untuk itu, terpenting sekarang adalah pemahaman tentang masyarakat Papua, baik dari sisi sosial, budaya, maupun politik. Menyelesaikan konflik di Papua tidak hanya melibatkan unsur-unsur pemerintah, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat Papua adalah bagian dan masyarakat Indonesia yang harus diperlakukan sebagaimana sesama anak bangsa. Sebagai warga negara yang harus dihormati, yang memiliki hak-hak sipil dan politik dan menjadi bagian dalam naungan NKRI.

Banyak kalangan yang menilai bahwa selama ini hubungan masyarakat Papua dengan pemerintah pusat dan aparat negara boleh dibilang buruk. Selain itu, kebijakan pemerintah tidak membuat dan tidak melaksanakan harapan masyarakat Papua untuk keadilan dan pemerataan ekonomi bagi rakyat Papua terpencil. Peristiwa Papua mengingatkan pentingnya membangun penghormatan atas kebinekaan yang kini belum disadari oleh berhagai pihak. Selain, yang paling panting ketika menghormati kebangsaan adalah pengamalannya dan bisa muncul respek serta tidak bersikap rasialis terhadap sesama anak bangsa.

Memang harus diakui ada permasalahan gangguan keamanan di Papua dan Papua Barat dengan keberadaan TPN/OPM atau sekarang yang disebut teroris oleh pemerintah RI. Namun sejauh ini belum dapat dilumpuhkan kekuatan militernya hingga ke akar-akarnya oleh aparat keamanan dan aparat intelijen.

 

Meskipun ada masalah terkait keamanan, menyelesaikan masalah Papua tidak serta merta dituntaskan dengan menambah TNI atau Polri atau menyelesaikan masalah Papua dengan mengedepankan aspek keamanan, karena hal tersebut tidak akan pernah selesai dan cuma menambah dendam saja dikemudian hari. Menyelesaikan Papua harus melalui jalur antropologi dan sosiologi dan pendekatan sipil lainnya, seperti pemerintah baik pusat maupun daerah juga perlu lebih serius dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terkait dengan Papua yang berada di bawah permukaan. Isu ketimpangan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia, dan isu lain yang sudah lama berkembang perlu lebih dicermati dan dicarikan jalan keluar segera.

Bahkan, sejumlah elite Papua yang dikenal sebagai tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyebutkan, sebenarnya merdeka bagi OAP tidak bisa terwujud apabila pemerintah pusat dan Papua, secara konsisten menjalankan amanat Undang-Undang No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selain itu, untuk menyelesaikan masalah Papua, maka hentikan stigmatisasi negatif terhadap rakyat Papua, karena stigmatisasi terus yang akhirnya menggerakkan masyarakat Papua melakukan perlawanan. Menuduh setiap aksi protes atas ketidakadilan yang menimpa orang asli Papua (OAP) dengan stigmatisasi bahwa mereka pro separatis, melakukan makar, atau anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah blunder besar. Seperti sering dikatakan kebanyakan elite politik di Jakarta dan masyarakat di luar Papua yang menyebutkan bahwa realisasi kemerdekaan masyarakat Papua hanya bisa terjadi apabila merdeka dan separatis.

Oleh karena itu, jika benar-benar ada “grand design dan political will” untuk mengakhiri kekerasan di Papua, maka stigmatisasi terhadap OAP segera diakhiri, termasuk ujaran kebencian dan rasialisme terhadap mereka, sebab jika tidak maka kita tinggal menunggu waktu lepasnya Papua dari Indonesia.

 

Trauma Orang Asli Papua

Sekarang, di masa pandemi ini bagaimana akibatnya isu dehumanisasi dan diskriminasi bagi warga Papua? Trauma warga Papua yang berkepanjangan menyebabkan krisis kepercayaan warga Papua bahkan terhadap kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Meskipun hal itu menyangkut keselamatan nyawa mereka sendiri. Sudah terjadi krisis di rumah sakit, masih ditambah pula  dengan angka vaksinasi yang rendah di Papua, terutama di kalangan orang asli Papua.  Problem terakhir itu coba dipecahkan bersama, sampai ada webinar khusus menyangkut ‘pertanyaan seputar vaksin COVID-19’, yang diadakan oleh media lokal Jubi dan Gereja Kingmi, segelintir institusi paling dipercayai di Papua, pada 24 Juli 2021 lalu.

Seperti yang dilaporkan oleh media online alternatif projectmultatuli.org, Kepala Dinkes Provinsi Papua, Dr. Roby Kayame, dalam diskusi ini berkata hingga 24 Juli, vaksinasi dosis pertama baru mencapai 190.723 atau 13,06% dan dosis kedua sebanyak 12.911 atau 5,58%, yang didominasi oleh warga non-Papua.  Kota dan Kabupaten Jayapura, Mimika, serta Merauke merupakan wilayah dengan capaian vaksinasi cukup tinggi. Sebaliknya, angka vaksinasi masih rendah di wilayah pegunungan baik Lapago maupun Meepago. Di wilayah Saireri, angka vaksinasi di Kabupaten Biak jauh lebih tinggi dibandingkan Supiori, Yapen dan Waropen. Angka vaksinasi di Boven, Mappi, dan Asmat tergolong tinggi. “Persentase orang Papua sangat kecil mengikuti vaksinasi dibandingkan orang non-Papua di beberapa tempat,” kata Dr. Kayame.

Ada keyakinan orang Papua tak akan tertular COVID-19, yang tampak dari kebiasaan mereka masih berkumpul selama pandemi, menurut Dr. Kayame. Ini diperparah hoaks di media sosial maupun via WhatsApp yang menyebarkan narasi seram setelah seseorang divaksin.

 

Relasi rakyat Papua terhadap negara Indonesia, di antaranya yang pernah terjadi berupa pembunuhan, represi, dan pemenjaraan, menciptakan ketakutan dan trauma bertahun-tahun. Selama dua tahun terakhir, ujar Pendeta Giay, COVID-19 telah dijadikan alasan oleh aparat keamanan Indonesia untuk membungkam suara orang Papua yang memprotes atas rasisme dan kepentingan Jakarta memperpanjang otonomi khusus. “Pihak-pihak yang dicurigai oleh masyarakat Papua itu… tidak boleh terlibat mengawal vaksinasi. Orang Papua melihat, dengan melibatkan tentara dan polisi Indonesia, maka “ada niat tidak baik sehingga membuat masyarakat Papua menolak vaksin,” tukas Pendeta Giay menjelaskan.

Sementara itu, Drg. Audryne Karma, putri tokoh politik Filep Karma, berkata ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia bukan saat vaksinasi COVID-19 semata. Program-program kesehatan sebelum pandemi, dari pengalamannya, dianggap membawa misi terselubung untuk mencelakakan orang Papua. “Kita punya trauma yang mendarah daging,” katanya.  Selama tiga tahun bertugas di Dekai, Kabupaten Yahukimo, Audryne menceritakan bagaimana program imunisasi dasar untuk anak seringkali ditolak oleh masyarakat setempat sehingga dampaknya angka kematian anak tinggi. Pada 2019, wabah polio terjadi di banyak wilayah. Pemerintah mencanangkan vaksinasi ulang polio. Program ini baru berjalan lancar setelah petugas kesehatan bekerjasama dengan pihak gereja.

Minat vaksin yang rendah juga karena minim informasi dari otoritas pemerintah, tambah Audryne. “Saya pikir, hak setiap orang untuk mengetahui efek samping dari obat dan apakah ini berbahaya atau tidak. Tapi saya tidak melihat itu. Saya cuma lihat data di WHO yang sangat rinci memberikan data-data tentang efek samping dari vaksin.” Sedangkan Eben Kirskey, antropolog Amerika Serikat pemerhati Papua, mengajak warga Papua untuk jangan takut divaksin. Ia mengisahkan kecurigaan yang sama oleh warga kulit hitam AS saat pemerintah merencanakan vaksinasi, dengan pengalaman rasisme serupa, ‘Black Lives Matter’ maupun ‘Papuan Lives Matter’. Kecurigaan cepat terkikis karena melihat peran Kizzmekia Corbett, ilmuwan kunci di balik pengembangan vaksin COVID-19, adalah orang Afro-Amerika.

“Jika masih muda, di bawah 30-an atau 40-an tahun, kalau tidak merasa sakit, saya kira pakai Sinovac. Tetapi, kalau lebih tua di atas 70-an tahun, diabetes, agak gemuk, dan punya sakit jantung, berarti risiko besar untuk meninggal karena COVID-19, saya sarankan AstraZeneca lebih cocok,” ujar Kirksey. “Logikanya, justru kalau ada penyakit, harus divaksin cepat karena lebih rentan jika terkena COVID-19.” Minat rendah vaksinasi bisa tergambar lewat cerita Dokter Melissa Hascatri, Kepala Puskesmas Yoka di Distrik Heram, Kota Jayapura. Ia berkata justru lebih banyak warga di luar Kampung Yoka yang ikut vaksinasi. Hingga 24 Juli, Puskesmas Yoka sudah memvaksin 1.740 dosis pertama dan 967 dosis kedua. “Kita masih harus terus melakukan pendekatan. Mungkin mereka ingin mengakses informasi karena belum tahu. Awal-awal memang kita masih sosialisasi. Tapi, mereka juga menyampaikan mereka mendengar hoaks begitu,” katanya.

Angka kasus COVID-19 di wilayah kerjanya juga meningkat. Selama Juli 2021, ada 14 sampai 16 pasien yang reaktif virus corona. Pada awal Juli, setengah dari petugas Puskesmas Yoka positif, termasuk dirinya; satu di antaranya sedang dirawat di RSUD Dok II. “Empat di antaranya berdomisili di Kampung Yoka,” ujarnya. Dokter Melissa berkata perlu sosialisasi berulang-ulang meyakinkan warga Papua untuk mau divaksin, termasuk melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan gereja.

 

 

 

Masalah Politik Bikin Runyam Pandemi di Papua

Dalam dua bulan terakhir pula, jabatan politik di Papua lebih banyak disetir oleh para elite politik di Jakarta. Praktis, pemerintahan sipil di Provinsi Papua sulit bekerja untuk fokus menangani pandemi. Pada akhir Juni, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, eks Kapolri dan eks Kapolda Papua, menunjuk seorang birokrat Papua untuk mengisi jabatan sementara sebagai Gubernur Papua, dengan dalih Lukas Enembe sedang sakit, tanpa memberitahu Enembe. Itu bikin Enembe geram dan mengancam akan mengadukan Tito ke Presiden Jokowi. Jabatan wakil gubernur masih kosong selepas Klemen Tinal meninggal pada Mei tahun ini.

Politik pecah belah ini diteruskan saat para politikus di Senayan pada pertengahan Juli, mengesahkan revisi UU Otonomi Khusus Papua, dengan menambahkan klausul pemekaran tanpa konsultasi dengan parlemen Papua, mengabaikan gelombang protes rakyat Papua. Saat disahkan, polisi Indonesia menangkap puluhan demonstran di Jayapura dengan alasan membuat kerumunan.

Tito juga mencegah rencana Enembe yang akan menutup akses laut dan udara dari dan keluar Papua mulai 1 Agustus sampai 31 Agustus 2021.

Gubernur Enembe beralasan rencana ini demi menghentikan penyebaran virus, kendati varian Delta sudah masuk ke Papua. Dengan kata lain, Enembe ingin memberlakukan lockdown. Tarik-ulur pemerintah daerah dan pusat macam ini pernah terjadi saat awal pandemi, Maret 2020.  Di kehidupan sehari-hari warga sipil Papua, pemerintahan Jokowi membiarkan pengerahan besar-besaran aparat keamanan memasuki daerah-daerah yang dianggap tempat perlawanan bersenjata, dan melabeli kelompok-kelompok politik yang menuntut referendum sebagai “teroris.”

Memakai banyak istilah untuk menangani krisis pandemi tapi emoh memakai UU Karantina Kesehatan (mewajibkan pemerintah pusat mencukupi kebutuhan warga), pendekatan keamanan ala Presiden Jokowi justru telah menciptakan situasi lebih kompleks di Papua. Dalam situasi seperti inilah pandemi COVID-19 telah dijadikan alasan oleh aparat keamanan Indonesia untuk membungkam suara orang Papua, sebagaimana disebut Pendeta Benny Giay. Meski begitu, setidaknya sampai akhir Juli, pemerintah pusat maupun provinsi masih meyakini rencana mengadakan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua tetap berjalan pada September 2021.

Pendeta Giay menyarankan perlu ada tim khusus yang terdiri dari gereja, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk memantau program vaksinasi di Provinsi Papua. “Kita perlu satu langkah baru, pikiran baru, supaya ada satu program yang kita bisa promosikan. Ada tim yang kita bisa yakini bahwa kita bisa memecah tembok ketidakpercayaan yang sudah tertanam sangat dalam di masyarakat Papua. “Kalau tim ini tidak diterima juga, itu sama seperti bunuh diri. Orang Papua akan banyak yang mati…lalu perlahan punah.

Demikianlah suara-suara kritis dari warga Papua maupun pengamat dari luar negeri yang mendalami masalah Papua. Semoga suara-suara mereka menjadi masukan yang berharga guna menetapkan kebijakan terbaik bagi warga Papua. Jangan sampai blunder perkataan Mensos Tri Rismaharini yang menyebutkan bahwa PNS (pegawai negeri sipil) yang kerjanya payah akan dipindahkan ke Papua jadi kenyataan. Karena seharusnya PNS terbaik saja yang dikirim kesana guna bersama-sama membangun Papua. Sehingga stigma bahwa warga Papua tertinggal tidak terjadi lagi. Sekaligus menghapus isu dehumanisasi dan diskriminasi warga Papua di wilayah NKRI. (EKS/berbagai sumber)

Exit mobile version