Pelemahan Organisasi Anti Korupsi: Melihat Pengalaman Indonesia Dengan KPK dan Australia
Perkembangan yang terjadi di Indonesia dan Australia dalam kaitannya dengan badan anti korupsi sekarang ini, antara lain memperlihatkan kesamaan dalam dinamika dan unsur politis yang bermain dalam organisasi anti korupsi dalam skala nasional. Secara jelas tampak bahwa banyak politisi dan orang berkuasa bermain dan menentukan dinamika dan arah perkembangannya ke depan. Tarik menarik politik, pada galibnya selalu menjadi ancaman laten yang selalu menghinggapi organisasi yang ingin bertujuan meningkatkan kinerja perang terhadap korupsi di sebuah negara
Jakarta, 31 Mei 2021. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi berita menghangat hingga kini, sehubungan dengan kasus pemecatan 51 anggota KPK karena kegagalan mereka dalam uji tes kebangsaan sebagai syarat utama menjadi ASN. Berbagai isu mengemuka dan bergulir, termasuk tuduhan-tuduhan taliban dan isu-su lainnya yang semuanya dapat diidentifikasikan sebagai kasus-kasus untuk melakukan pelemahan pada organisasi KPK.
Pemerintah dianggap sengaja menggunakan suatu undang-undang guna memperlemah lembaga korupsi dan kemandiriannya. Latarbelakang Pimpinan KPK sebagai seorang Jenderal Bintang 2 Polri juga dilihat sebagai indikasi adanya pertarungan antara KPK dan Polisi yang memang selama ini memiliki riwayat tarik-menarik kepentingan. Ketimbang bahu membahu dalam penegakan hukum, menurut Asep A. Sahid dalam artikelnya Konflik KPK vs Polri Jilid III, praktik adu seteru keduanya memang telah berjilid-jilid.
Pelemahan KPK
Kita mengetahui adanya konflik di masa lalu yang dipicu oleh penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dan peristiwa penangkapan Bambang Widjojanto oleh Polri serta upaya mempertersangkakan seluruh pimpinan KPK. Bagi banyak pihak ini dini dianggap bentuk muatan kontestasi atau perseteruan kuasa dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kurnia menjelaskan Firli selama menjadi pimpinan KPK kerap kali membuat kebijakan yang kontroversi. Adapun sejumlah tindakan itu seperti pengembalian paksa penyidik Rossa Purbo Bekti, melanggar etik, hingga berperan dalam penonaktifan 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).”Untuk itu, kami mendesak supaya Kapolri dapat menarik Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, atau bahkan, memberhentikan yang bersangkutan sebagai anggota Polri aktif,” kata Kurnia.
ICW telah menyatakan bahwa pimpinan KPK yang sedang diisi oleh seorang penegak hukum menyebabkan rawannya konflik kepentingan yang potensial terjadinya tindakan subyektifnya menangani kasus-kasus dari institusinya. Ini dianggap sebagai upaya melemahkan posisi KPK. Lebih jauh lagi, pemberlakuan Undang-Undang No 19 tahun 2019 makin membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berubah. Banyak pengamat menyatakan bahwa proses pembuatan aturan dan penetapan undang-undang ini jelas memiliki latar belakang kepentingan dan manipulasi politik.
Pengawasan internal dan eksternal ditambah dengan status staf anggotanya yang kini berstatus aparatur sipil negara (ASN) dikawatirkan menumpulkan upayanya memberantas korupsi secara lebih independen. Dengan status sebagai ASN, independensi personel KPK menjadi tidak independen karena penempatan, promosi dan mutasi pegawai akan tidak lagi menjadi kuasa internal lembaga ini. Walaupun mendapatkan protes dari ratusan ribu mahasisa dan pelajar yang demo ke jalan memprotes revisi itu, Dewan Perwakilan Rakyat tetap meneruskan proses penetapan Undang-Undang tersebut.
Koalisi kekuasaan eksekutif dan legislatif antara Presiden Joko Widodo dan partai pendukung terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah Megawati Soekarnoputri memang mempunyai sejarah permusuhan dengan KPK. Muldoko kemudian menyatakan bawa pengalihan pegawai KPK ini adalah untuk lebih menekankan komitmen Pemerintah agar KPK tetap sebagai organisasi yang terdepan dalam upaya menghadapi pengurangan korupsi di Indonesia. Sesudah Mahkamah Institutsi menolak petisi yang diajukan mantan komisioner KPK untuk membatalkan Undang-Undang yang baru, Jokowi kemudian menyatakan bahwa kegagalan dalam tes seharusnya tidak menjadi dasar pemecatan 75 pegawai KPK tersebut.
Kurnia Ramadhana dari ICW menyatakan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri yang adalah seorang Jendral Polisi telah mengabaikan seruan yang diberikan oleh Presiden Jokowi tersebut. Disebutkannya bahwa kepempimpinannya tidak profesional dan kurang berintegritas. Menurut Kurnia tindakan Firly telah mempermalukan Presiden dalam ranah publik karena Presiden merupakan adalah ketua dari layanan sipil dan eksekutif pelaksana KPK.
Badan Anti Korupsi di Australia
Seperti halnya Indonesia, Australia juga telah memiliki badan anti korupsi dengan karakteristik dan peran yang agak sedikit berlainan dengan Indonesia. Meskipun demikian, nuansa politis, konflik antara personel kepolisian dan tarik-menarik dengan anggota parlemen juga menjadi bagian yang mewarnai dan menantang dinamika dan tempatnya badan anti korupsi di Australia. Negara Australia adalah negara federal yang terdiri atas pemerintahan negara-negara bagian yang memiliki otoritas politis sendiri-sendiri. Badan-badan anti korupsi yang ada di negara-negara bagian Australia, Menurut penelitian, tergolong yang paling baik di dunia yang berkaitan dengan upaya terus-menerus yang dilakukan guna menciptakan organisasi ini sebagai tempat yang paling bersih dari tindak korupsi dan upaya menguatkan perannya.
Menurut Direktur Transparent Internasional Australia Peter Willis, Australia sebelumnya negara yang korup juga. Misalnya negara bagian NSW dikenal dengan catatan negara bagian penuh tindak korupsi seperti aksi-aksi jual beli gelar dan jabatan, monopoli, perpajakam dan penguasaan tanah secara paksa oleh negara serta kroni-kroninya. Negara bagian New South Wales kini sudah memiliki badan yang disebut dengan ICAC (Independent Commission against Corruption). Kedudukan Badan ini sama dengan KPK atau Badan Pencegahan Rasuah (BPR) Malaysia dan Badan anti korupsi CPIB di Singapura, namun dalam tingkat yang bukan nasional.
Badan ini makin menguat kinerjanya hingga sekarang dan dikenal sebagai insitutusi yang amat independen dan profesional. Badan ini berlaku untuk melengkapi disebut Police Integrity Commission (PIC) atau komisi interitas Polisi yang mengkhususkan memproses korupsi di dalam organisasi kepolisian dan dibentuk pada Juli 1996. Kedudukan ICAC selama ini amat dihormati oleh anggota parlemen, Parlemen, pemerintah dan badan-badan sektor publik pada saat mereka melaporkan penampilan dan kinerja sektor-sektor publik dalam hubunganya dengan potensi tindak korupsi. ICAC tidak melakukan penuntutan yang wewenang Direktur Penuntut Umum yang dibentuk terpisah.
Keberhasilan ICAC selama ini amat ditopang dengan adanya pemilu yang jurdil, aparat polisi yang jujur, pejabat publik yang netral dan berkualitas serta penerapan audit pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran Pemerintah. Penyidikan mereka dilakukan independen tanpa campur tangan pemerintah dan terbantu dengan adanya akses kebebasan informasi. Selain iu penuntutan kejahatan juga dilakukan secara independen oleh hakim independen dan amat didukung masyarakat yang patuh merealisasikan amanat undang-undang yang berlaku. Negara-negara bagian selain NSW juga memiliki badan anti korupsi yang kuat. Komisi Anti Korups di negara bagian Victoria disebut BAC dan CCC di negara bagian Queensland yang berperan besar dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
Desakan Membuat Badan Anti Korupsi Tingkat Federal
Seperti disebutkan di atas, komisi anti korupsi di Australia sampai dengan saat ini ini masih ada pada tataran negara bagian dengan kewenangan yang berbeda satu sama lain. Ketika KPK dibentuk di Indonesia dan menunjukkan kinerjanya yang positif, hal ini amat menarik perhatian pengamat masalah anti korupsi dan akademisi di Australia karena meskipun Indonesia adalah negara berkembang, sistem yang dibentuk sudah lebih maju oleh Australia. Karenanya, perkembangan-perkembangan terakhir sehubungan dengan nasib KPK, telah banyak meninmbulkan komentar yang menyesalkan di Australia.
Sementara kedudukan badan-badan anti korupsi tingkat negara bagian semakin kuat dan dapat menjerat siapa saja termasuk pejabat tinggi, menteri-menteri dan anggota parlemen, upaya Australia untuk membentuk badan dalam tingkat nasional masih belum terwujud. Walaupun kasus korupsi meningkat dan sistemnya secara lokal tidak lagi memadai timbul kebutuhan untuk mendirikan badan anti korupsi pada tingkat federal. Penurunan indeks korupsi global di Australia menjadi salah satu hal yang dianggap betapa urgennya pendirian badan seperti ini, agar penyuapan dan pengelolaan dana publik tingkat federal dapat ditangani.
Kondisi ini menurut Serena Lilywhite dari Transparency International menunjukkan pemberantasan korupsi di sektor publik Australia mulai tertinggal. Pimpinan Transparency Internasional Australia Anthony Whealy QC selanjutnya menyatakan bahwa pemerintah Australia masih belum melihat kebutuhan untuk memiliki lembaga korupsi independen di tingkat nasional. Setelah Pemilu 2019, sejumlah politisi mulai kembali mendesak kepada pemerintah yang berkuasa agar lembaga setara KPK di tingkat nasional di Australia itu dibentuk. Partai oposisi dan anggota parlemen dari wakil-wakil partai politik yang kecil sepakat menggolkan rencana ini.
Sesudah bertahun-tahun konsultasi dengan pemangku kepentingan dalam merancang undang-undang untuk komisi yang baru ini diadakan, tampaknya masih tanpa hasil dan tidak memenuhi tenggat waktu yang telah ditetapkan. Anggota parlemen dalam tingkat Federal masih tampak menunda-nunda kelahiran badan ini dengan sengaja karena dikawatirkan bila terbentuk dapat dengan menyeret mereka, termasuk perdana Menterinya bila kedapatan melakukan tindakan yang mengarah pada definisi korupsi. Selama ini, polisi federal tidak dapat memproses kasus yang melibatkan anggot parlemen bila tidak terkait dengan tindak pidana kriminalitas.
Anthony Whealy, mantan hakim dari negara bagian New South Wales Australia dan anggota komite ini, menyatakan bahwa Pemerintah Australia memang berjuang selama bertahun-tahun hanya untuk menggagalkan proposal terbentuknya suatu badan anti korupsi di tingkat federal yang didambakan masyarakat umum. Karena dorongan yang bertubi-tubi, kini mereka mulai mengajukan proposal yang ternyata hanya bertujuan memproteksi kedudukan mereka sendiri, sebagai tameng bagi sektor publik untuk terhindar dari penyelidikan seksama.
Negosiasi yang alot masih di hadapi di parlemen dan masukan-masukan masih diperlukan. Perdana Menteri Australia Scott Morrison baru-baru ini menyatakan tidak akan menentang anjuran pembuatan badan tersebut. Katanya, ini isu kecil yang dibesar-besarkan oleh pihak oposisi. The Centre for Public Integrity ikut berkomentar bahwa model yang diajukan Pemerintah sengaja digunakan untuk memamdulkan upaya badan ini melakukan investigasi sendiri atas penegakan hukum korupsi sehingga anggota parlemen dan mereka yang bekerja di lingkung ASN tidak dapat diajukan bila terbukti. Selama ini banyak kritik soal penyelidikan masalah pengikutsertaan publik dan undang-undang yang akan memberi keuntungan terhadap ASN dan politikus ketimbang personel penegakan hukum termasuk anggota kepolisian.
Kritikan-kritikan tersebut datang dari kelompok anti korupsi dan ‘thinktank’. yang dipersoalkan adalah adanya rujukan skup dan kekuasaan yang akan sangat menentukan kepercayaan akan kemampuan Australia dalam pengurusan persoalan korupsi di kemudian hari. Menurut Transparansi Internasional masalah fundamental rancangan adalah pembedaan perlakuaan antara politikus dengan upaya penegakan hukum. Rancangan itu dianggap kurang kredibel dan hanya akan membuat badan anti korupsi tingkat tertinggi di negara ini sebagai suatu badan yang tidak efektif, lemah, dan akan mengurangi integritas yang sudah terbentuk selama ini.
Reaksi Pihak Kepolisian
Polisi Federal Australia dalam propoa litu direncanakan menjadi fokus Komite Integritas penegakan hukum dan standar profesionalitas sehingga bisa diperiksa dengan lebih seksama karena dianggap beresiko dari ancaman terjadinya korupsi. Namun pihak kepolisian langsung bereaksi. Mereka menuduh bahwa partai Koalisi yang berkuasa sekarang, lewat perwakilan-perwakilannya, telah membuat posisi mereka yang tidak menguntungkan dalam penanganan korupsi tingkat Federal. Rancangan aturan yang diajukan oleh Jaksa Agung Christian Porter dianggap hanya akan memberikan keuntungan anggota parlemen dan tidak pada personel polisi, sebagai akal-akalan anggota parlemen melucuti peran polisi yang kuat selama ini.
Dalam artikel yang muncul di Guardian 12 November 2020 disebutkan bahwa badan yang mewakili ribuan anggota Polisi Federal Australia menyatakan keberatan atas rencana Komisi anti korupsi yang digagas koalisi itu. Persatuan polisi Federal Australia yang mewakili 4000 personel penegak hukum dan keamanan nasional, mewanti-wanti bahwa gagasan itu menimbukan ketidakadilan dan tidak bisa dibenarkan. Mereka tidak mau personel polisi diharuskan menghadapi penyidikan umum kalau politikus dan ASN (pegawai negeri) tidak.Persatuan polisi lebih menyokong model yang diajukan anggota Parlemen dari jalur independen, Helen Haines, di mana politikus dan penegak hukum ditempatkan dan diperlakukan.
“Jika anda ingin menciptakan sistem yang terintegritas, maka diperlukan aturan bagi semua orang” kata Wakil Presiden Persatuan Polisi Australia, Alex Caruana. “Anda tidak bisa hanya mengatakan, teman saya dapat ini dan orang lain yng mendapatkan itu. Ini tidak adil. Seorang personel polisi yang diberikan diskon sebuah toko, sekarang akan dianggap tindak korupsi dan secara teoritis bisa dilaporkan dan diajukan ke pengadilan. Sementara staf senior di sebuah Departemen atau seorang Menteri yang memberikan izin lahan dari pendonor partainya, tidak mendapat perlakukan yang sama”, demikian penjelasannya.
Banyak negara termasuk Australia yang memuji Indonesia sebagai negara yang paling baik dan progresif dalam penanganan korupsi. Menteri Kehakiman Australia bahkan pada 2014 lalu sempat berkunjung ke kantor KPK di Jakarta mempelajari bagaimana KPK di Indonesia dioperasikan dengan hasil yang sangat impresif. Dinamika demokrasi di Australia sedikit berbeda. Persaingan intra elite di parlemen sering tidak dibiarkan terjadi dala konteks mewujuduan konsep ideal anti korupsi di mana ada supremasi hukum dan kemampuan penegakan hukum. Namun tidak dalam konteks korupsi politik.
Namun demikian, perkembangan yang terjadi di Indonesia dan Australia dalam kaitannya dengan badan anti korupsi sekarang ini, antara lain memperlihatkan kesamaan dalam dinamika dan unsur politis yang bermain dalam organisasi anti korupsi dalam skala nasional. Secara jelas tampak bahwa banyak politisi dan orang berkuasa bermain dan menentukan dinamika dan arah perkembangannya ke depan. Tarik menarik politik, pada galibnya selalu menjadi ancaman laten yang selalu menghinggapi organisasi yang ingin bertujuan meningkatkan kinerja perang terhadap korupsi di sebuah negara. (Isk –dari berbagai sumber)