Kepemimpinan dan Keteladanan Kapolri dari Masa ke Masa

Dua Kapolri terdahulu yaitu Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso dan Kapolri Widodo Budidarmo merupakan contoh sosok-sosok olisi legendaris dan fenomenal yang patut menjadi inspirasi dan keteladanan untukkriterai pemimpin Polri yang ideal.Kejujuran, kesederhanaan dan integritas mumpuni yang mereka tunjukkan datang dari konteks dan zaman yang berbeda dengan pasca Reformasi ini. Mungkin benar bahwa sulit dan hampir mustahil karakteristik polisi seperti itu dapat ditemui di masa kini.Meskipun demikian, kenangan membekas akan sosok-sosok membanggakan dan telah membawa kemajuan wajah Polri dewasa ini kerap muncul ketika membicarakan mengenai pemimpin Polri yang didambakan. Tindak-tanduk dan terobosan mereka merupakan nilai-nilai dan filosofi kerja yang harus tetap dihidupkan di lingkungan Polri kini dan masa depan.

Jakarta, 7 Juni 2021. Di antara sembilan Jenderal Polisi yang menjabat sebagai Kapolri selama masa Orde BaruJenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso adalah yang paling mashur.Hoegeng dilahirkan pada 15 Oktober 1921 di kota Pekalongan dan meninggal di Jakarta pada 14 Juli 2004 sesudah dirawat di RS Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat akibat serangan stroke. Jenazahnya dimakamkan di Parung Raya Bogor, Jawa Barat.Sesudah lulus dari PTIK pada 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur, lalu ditugaskan sebagai Kepala Reskrim di Sumatra Utara. Bagi seorang polisi, jabatan tersebut merupakan bentuk batu ujian mengingat daerah ini sangat terkenal sebagai pusatnya penyelundupan.
Setibanya di tempat baru, ia heran karena disambut secara istimewa. Rumah pribadi dan mobil sudah disediakan oleh beberapa cukong judi di daerah itu untuknya. Hoegeng kemudian menolak mentah-mentah karena itu bentuk sogokan yang dialamatkan kepadanya. Ia lebih memilih tinggal di sebah hotel daripada tempat itu, sambil menunggu rumah dinasnya sudah bisa ditempati. Hoegeng dilaporkan pula telah mengeluarkan secara paksa aneka perabot dari rumah dinasnya yang disediakan pihak-pihak tertentu. Ia kemudian menaruhnya barang-barang itu di pinggir jalan.
Berbeda dengan polisi lainnya, Hoegeng tidak mempan disuap. Barang-barang mewah pemberian bandar judi dilemparnya keluar jendela. Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menerima suap atau korupsi. Prinsip hidup itu ia tiru dari mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.Tindakannya tentu saja ini membuat gempar masyarakat di kota Medan.Prestasi Hoegeng di Medan demikian cemerlang. Ia berhasil membongkar praktik suap menyuap pada para polisi dan jaksa di Medan yang menjadi antek bandar judi.

Menjadi Kapolri
Hoegengkemudian diangkat sebagai Kapolri ke -5 dari 1968 hingga 1971menggantikan Kapolri sebelumnya Soetjipto Yudodihardjo.Menurut Jenderal Hoegeng, tugas polisi adalah mengayomi masyarakat, baik dari pangkat tertinggi sampai yang terendah. Dalam kesehariannya di kantor, Hoegeng juga sosok yang disiplin. Dia selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00. Sebelum sampai ke kantor, dia menyempatkan diri untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.Jika ada kemacetan, Hoegeng misalnya, akan menjalankan tugas sebagai polisi lalu lintas.
Hoegeng merasa tidak pernah malu turun langsung ke lapangan mengambil alih tugas polisi yang kebetulan sedang tidak ada di tempatHoegeng juga pernah menolak pemberian mobil dinas dari Sekretariat Negara. Alasannya ia telah memiliki mobil jip dinas yang disediakan oleh kepolisian.Dalam masa kepemimpinannnya, jabatan Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia diubah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Sebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) akibatnya, berubah menjadi Kepala Daerah kepolisian RI (Kadapol). Kadapol kemudian berubah menjadi Kapolda dan berlaku hingga sekarang.
Ketika sedang menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng juga tidak segan-segan melakukan pembenahan-pembenahanmenyangkut mengenai struktur organisasi di tingkat Mabes Polri.Ia salah satu jenderal polisi paling legendaris si Indonesia yang selalu menunjukkan sikap yng penuh integritas dankejujuran.

Tak Mempan Dirayu
Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso juga pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Perempuan itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tidak dilanjutkan ke pengadilan.Walaupun Hoegeng menolak, pengusaha cantik itu tidak menyerah. Dia terus mengirim berbagai hadiah mewah yang dikirim ke alamat Hoegeng. Tapi Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah itu langsung dikembalikan.Hal ini berbeda dengan koleganya di kepolisian dan kejaksaan. Banyak pejabat yang mau menolong wanita itu. Hoegeng pun hanya mengelus dada melihat tingkah laku koleganya itu.

Menangani masalah pemerkosaan
Kapolri Jenderal Hoegeng pernah dihadapkan pada kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta.Dalam kasus tersebut anak seorang pejabat dan anak pahlawan revolusi diduga ikut menjadi pelakunya. Hoegeng sadar kasus di pengadilan waktu itu penuh rekayasa, namun ia siap mengusut kasus tersebut hingga tuntas.Hoegeng membentuk tim khusus bernama “Tim Pemeriksa Sum Kuning”. Tim itu ia bentuk pada Januari 1971.
Entah mengapa, Presiden Soeharto meminta kasus ini tidak lagi ditanganinya, melainkan Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib. “Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” ujar Hoegeng waktu itu.

Diberhentikan
Karena kejujuran dan integritasnya, Hoegeng diberhentikan pada Oktober 1971 oleh Rezim Orde Baru sebelum masa jabatannya usai.Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus-kasus yang dia tangani.Menurut Rosihan Anwar yang menulis biografinya, Hoegeng diangkat sebagai Kapolri ketika kasus-kasus penyelundupan merajalela.Salah satu kasus penyelundupan mobil mewah yang terkeal didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Se Tjie It, yang dapat memasukkan mobil-mobil selundupan itu atas perlindungan tentara.
Sang penyelundup diketahui memiliki backing dari pihak Cendana.Ketika bermaksud menyampaikan keberhasilannya operasi penyelundupan mobil mewah melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Hoegeng terkejut ketika melihat tersangka yang dimaksud ternyata sedang berbincang-bicang dengan Soeharto di Cendana.”Dengan segala pertimbangan, saya akhirnya balik badan dan tidak jadi melapor ke Presiden,” tutur Hoegeng.Pemberhentiannya sebagai Kepala Polri sebelum masa jabatannya berakhir ditengarai karena kasus penyelundupan tersebut.
Ketika ditawari jabatan baru sebagai Duta Besar, Kapolri Hoegeng pun menolaknya.Ini dianggap sebagai alasan mengapa usaha untuk memberhentikannyamakin mempercepat.Alasan Soeharto memberhentikan Hoegeng semata-mata demi regenerasi dianggap tidak berdasar. Penggantinya yang bernama Mohammad Hassan usianya justru lebih tua dari Hoegeng. Pemberitaan Kompas (15 September 1971) menyebutkan alasan penolakan Hoegeng:”Saya menolak penugasan saya sebagai Duta Besar di luar negeri, karena saya merasa tidak capable untuk tugas itu. Saya mau pikir keluarga saya dulu. Kedua anak saya masih sekolah dan kalau saya ke luar negeri, studi mereka bisa kacau.”Sifatnya yang unik dan nyentrik oleh masyarakat dianggap menonjol dan fenomenal. Hoegengbahkan menjadi salah seorang yang diidolakan oleh Gus Dur.
Dalam diskusi di Bentar Budaya Jakarta (31/6/2006) yang membahas soal korupsi,Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) pernah melontarkan lelucon terkenal mengenai tiga entitas polisi jujur di Indonesia, yakni polisi tidur, patung polisi dan Jenderal Hoegeng. Tentu saja lelucon yang dilontarkan di sela-sela diskusi mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia pada masa itu yang membuat hadirin serentak tertawa dan menjadi cerita yang terkenal mengenai kepemimpinan polisi yang hebat di masa lalu.Meski sudah tidak memiliki jabatan, Hoegeng tetap menjadi figur yang dihormati dan diteladani masyarakat. Dia pun selalu kritis terhadap pemerintahan, terutama saat bergabung dalam kelompok Petisi 50.Menurut Hoegeng:
“Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan.”

Kapolri Widodo Budidarmo
Selain Hoegeng, tokoh polisi teladan lain yang juga cukup mashur dikenal karena kejujuran dan integritasnya adalah Widodo Budidarmo (lahir 1 September 1927 dan wafat 5 Mei 2017).Seperti halnya Hoegeng, Widodo juga lulusan PTIK tahun 1955 dan dikenal karena komitmen dan integritasnya yang sama seperti Hoegeng.Walau Widodo dikenal sebagai sosok pendiam dan bersahaja ia juga rendah hati dan pantang menyerah.
Menurut Widodo, polisi ideal yang seperti yang ada di Inggris,yaitu bersikap correct, santun, dan selalu menolong.”Oleh karena itu, polisi Inggris selalu dihormati dan dicintai masyarakat. Pedoman yang ditanamkan kepada mereka sangat sederhana, fight crime, help deliquent, dan love humanity.”

Menegakkan keadilan ketika menjadi Kapolda
Sebagai polisi sikapnya dikenal sangat tegas. Ini tercermin saat terjadi musibah pada tahun 1973 saat menjabat Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Mayor Jenderl Polisi.Saat itu, salah seorang anaknya yang masih duduk di bangku SMP bernama Agus Aditono, bermain-main dengan pistolnya, meledak, dan langsung menewaskan Sugianto sopir kesayangan keluarga Widodo.
Widodo dengan tegas tidak akan menutupi kasusi ni. Dia memilih bertanggung jawab dan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Widodo kemudian menyerahkan kasus ini agar diperiksa aparat Polsek Kebayoran Baru, Jakarta.Widodo kemudian menggelar jumpa pers untuk menjelaskan kejadian itu. Di depan pers, dia kembali menegaskan sikapnya, menyerahkan kasus ini untuk diproses hukum.
“Kalau pers akan memberitakan peristiwa ini terserah. Hanya saja, saya pesankan agar objektif. Ini hanya suatu kecelakaan. Jangan sampai nanti anak saya dicap sebagai pembunuh dan sebagainya sehingga mempengaruhi pertumbuhannya,” kata Widodo seperti dikutip dari buku biografinya, Karena Kuasa dan Kasihnya terbitan Praja Bhakti Nusantara dan Q Communication tahun 2004.
Selanjutnya Widodo melaporkan peristiwa itu kepada atasannya Kapolri Jenderal Polisi M. Hasan, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dan Menhankam/Pangab Jenderal M Panggabean. Widodo juga melapor kepada Presiden Soeharto. Dia mengaku lalai dan siap meletakkan jabatannya. Tetapi, semua menyatakan apa yang dialami Widodo adalah musibah yang harus diambil hikmahnya.Agus Aditono, anaknya kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dihukum masa percobaan selama setahun.
“Bapak bilang, meski saya anak Kepala Polri, saya harus berani bertanggung jawab. Saya langsung diajukan ke sidang pengadilan dan dijatuhi hukuman. Sebagai seorang anak, saya merasakan betul ketegasan sikapnya sebagai anggota polisi.”Peristiwa itu terbukti tidak menghalangi karier Widodo Budidarmo karena ia malahan dipromosikan untuk menjabat Kepala Polri pada 1974.

Diangkat sebagai Kapolri
Widodo diangkat sebagai Kapolri yang ketujuh, menjabat dari 26 Juni 1974 sampai 25 September 1978) menggantikan Kapolri keenam, Mohammad Hassan. “Semasa Pak Widodo menjabat Kepala Polri, pangkat saya masih letnan. Beliau saya lihat memiliki jiwa kepemimpinan, dedikasi tinggi, dan taat beribadah sehingga benar-benar bisa dijadikan teladan pengabdian untuk seorang anggota polisi,” Demikian komentar mantan Kapolri Da’i Bachtiar tentang sosoknya.Begitu dilantik menjadi Kepala Polri dalam usia 47 tahun, Widodo Budidarmo langsung melakukan analisis SWOT (strenghts, weaknesses, opportunity, threats) terhadap Polri yang jumlah personelnya saat itu sekitar 120.000 anggota.
Dalam analisis itu, menemukan alasan mengapa polisi terdorong melakukan penyelewengan dan mengarah pada penyalahgunaan wewenang, yakni kualitas dan kuantitas SDM buruk, anggaran terbatasan, peralatan dan kesejahteraan kacau, gaji sangat rendah dan asrama kondisinya tidak memadai.Menurutnya, apa pun alasannya, setiap bentuk penyelewengan polisi harus segera ditindak dengan tegas.Sebelumya menjadi Kapolri, ia pernah menjadi Kapolda Metro Jaya yang kedelapan (1970-1974) dan membentuk Tekab (Team Khusus Anti Bandit).Semasa menjabat Kapolri (1974-1978), Widodo menelurkan beberapa terobosan yang dianggap prestasi yang menonjol.Ia melakukan penggabungan Polri, Dispenda dan jasa Raharja dalam Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu atap) untuk lalu lintas, yang masih berjalan hingga sekarang.
Menurut mantan Kapolri Tito Karnavian, Widodo juga berjasa dalam memperjuangkan Undang-Undang Narkotika saat zat tersebut mulai merebak.Ia menggelar Operasi Guruh untuk memberantas aksi penyelundupan mobil, Operasi Guntur menertibkan orang asing, Operasi Badai untuk memberantas narkoba, Operasi Halilintar meringkus kejahatan bersenjata api dan melakukan Operasi 902 yang berhasil mengirim 70 gembong penyelundup diasingkan ke Nusakambangan.

Kasus Korupsi Deputi Kapolri
Panda Nababan, wartawan senior yang juga anggota DPR menyatakan bahwa terungkapnya kasus Siswadji merupakan prestasi Widodo. Ini menunjukkan suatu keberhasilan polisi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.Siswadji adalah pejabat tertinggi yang akhirnya dihukum karena tindak pidana korupsi, padahal jabatannya Deputi Kepala Polri dan pangkatnya Letnan Jenderal tiga bintang.

Menurut Nababan, terbongkarnya kasus tersebut bermula dari surat pribadi dari Hoegeng, bekas Kepala Polri yang waktu itu sudah pensiun, mengenai proyek pembangunan sebuah rumah.
Meski tak lagi menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng tetap aktif memberi perhatian khusus terhadap Polri. Pada 1977, dia mendapat laporan dari seorang perwira menengah polisi kalau ada dugaan korupsi di sejumlah perwira tinggi. Atas laporan itu, Hoegeng mengirim memo kepada Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo. Dalam memo itu, Hoegeng mengkritik habis-habisan perilaku polisi bergaya hidup mewah.Kasus itu mencuat setelah Hoegeng mendapat laporan dari Provost. Dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009) diceritakan bahwa Hoegeng mengirim sebuah memo kepada Widodo yang isinya berbunyi,”Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu?”. Karena tak kunjung mendapat balasan, Hoegeng lantas membocorkan dugaan korupsi itu ke beberapa media.
Tak lama kemudian kasus dugaan korupsi mencapai Rp 6 miliarmeledak.Setelah diusut, kasus ini menyeret sejumlah nama seperti Deputi Kapolri Letjen Polisi Siswadji dan tiga perwira lainnya yang kemudian divonis bersalah.Kasus Siswadji nyaris tidak jadi diajukan ke pengadilan sebab Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean ingin, menyelesaikannya secara diam-diam karena memalukan semua orang.Tetapi, Widodo menegaskan, “Justru harus diajukan ke pengadilan untuk memberi teladan bahwa kita benar-benar sangat serius dalam upaya memberantas korupsi.”
Akhirnya Siswadji dihukum penjara delapan tahun. Tiga perwira polisi lain yang ikut korupsi; seorang mendapat tujuh tahun dan dua orang masing-masing enam tahun penjara.Mereka adalah Kepala Jawatan Keuangan Polri Brigadir Jenderal Prajitno, bersama Kolonel Polisi Suroso dan Letnan Kolonel Polisi Paimin Sumarna,”Widodo Budidarmo seorang teman yang baik, karakternya cocok untuk polisi, pendiam di depan umum tetapi tegas dalam bertindak,” kata Jenderal (Purn) Widjojo Soejono, teman sekelasnya di Sekolah Menengah Teknik Surabaya.Mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengenang mantan Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Widodo Budidarmo sebagai sosok yang rajin dan tekun. Widodo juga disebut sangat aktif mengikuti perkembangan Kepolisian, bahkan setelah pensiun.

Harapan
Demikianlah, sikap tegas, bersih, sederhana, dan jujur itu membuat Hoegeng dan Widodo menjadi legenda di kalangan kepolisian dan di luar kepolisian. Menurut Jusuf Kalla, Hoegeng yang menjadi Kepala Polri pada 1966-1971 telah menjadikan ketegasan, kejujuran, dan kesederhanaan sebagai satu kesatuan kualitas seorang pemimpin. Gejala ”hukum rimba” yang terjadi di Indonesia, menurut Kalla, akibat absennya ketegasan, kejujuran, dan kesederhanaan pemimpin.
”Tegas itu menjadi ikon Hoegeng. Tentu untuk bisa tegas perlu berwibawa, wibawa lahir dari kejujuran. Kalau mau jujur, harus hidup sederhana, menikmati kesederhanaan,” katanya.Demi menjaga integritas, ia rela hidup pas-pasan selama Polri berada di bawah kepemimpinan mereka, pelaku kejahatan tak ada yang berani berkutik. Di mata Hoegeng, seperti disebut dalam Tempo (20/09/2004), Widodo adalah polisi jujur yang sulit disogok.
Tampaknya kepemimpinan Polri yang fenomena dan penuh terobosan dan nyentrik masih aktual dan diperlukan dewasa ini. Diperlukan tokoh yang bisa menjadi teladan seperti yang diperlihatkan pada perilaku sehari-hari sebagai seorang polisi maupun anggota masyarakat seperti yang diperlihatkan oleh Hoegeng dan Widodo. Perwujudan polisi yang ideal adalah yang sederhana, antisuap, dan terutama tidak silau dengan kemewahan sebagai pejabat publik.
Mantan Kapolri Jenderal (Pol Sutarman) mengaku menitikkan airmata saat membaca buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis oleh Suhartono. Menurutnya aa sosok pejabat dari zaman yang sama sekali berbeda. Ia tidak pernah dibawakan tasnya oleh ajudan, ia bisa tiba-tiba berada di lapangan untuk mengatur lalu lintas. Ia tidak malu sebagai Kapolri harus mengatur lalu lintas.
Ketika Didit putranya ingin menjadi taruna TNI-AU, ia enggan memberikan surat izin karena dikhawatirkan akan memuluskan anaknya menjadi taruna.Ketika pensiun, ia menerima uang pensiun sebesar Rp 1,3 juta. Ia sempat ingin menjual sepatunya tapi tidak laku karena bukan sepatu bermerek.Mereka adalah sosok yang disegani di kalangan kepolisian Republik Indonesia.Yang telah membawa perubahan besar dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia.
Publik Indonesia sangat mendambakan munculnya sosok-sosok kepemimpinan yang penuh keteladanan di tubuh Polri. Standar kepolisian yang tinggi ternyata banyak ditentukan oleh standar dan gaya kepemimpinan atasannya.Setiap kali ada masalah dan persoalan yang menyangkut komitmen, integritas dan kejujuran yang diharapkan, narasi dan kepeloporan tokoh-tokoh idola kepolisian seperti Jenderal Hoegeng dan Jenderal Widodo selalu muncul dan muncul kembali.
Harapan-harapan baru selalu muncul kembali yakni dambaan bagi munculnya pemimpin yang memiliki kualitas dan standar yang setara, bahkan lebih tinggi dari mereka selalu Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan,Polri perlu mereformasi diri agar dapat membentuk sosok seperti Jenderal Hoegeng. Meskipun tantangan dan godaannya besar, kepolisian masih memiliki kesempatan.Secara struktural, kepolisian mesti mereformasi dirinya, mulai dari sistem perekrutan, pembinaan, dan pengawasan. Yang juga sangat penting, pimpinan Polri mulai dari pucuk tertinggi harus menjadi teladan dan memenuhi kriteria sebagaimana sosok Jenderal Hoegeng.
”Jenderal Hoegeng itu sosok yang muncul karena standar kepolisian saat itu memang tinggi. Semua pimpinan kepolisian harusnya mencapai standar Hoegeng itu,” kata Neta.Ada secercah harapan ketika Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengatakan institusi kepolisian di bawah kepemimpinannya berjanji menampilkan sosok penegak hukum yang tegas namun tetap humanis dalam memberikan pelayanan publik ke masyarakat.
“Bagaimana kita memberikan pelayanan secara transparan dan bagaimana memberikan penegakan hukum yang berkeadilan, ini jadi komitmen kami bagaimana harapan masyarakat terhadap Polri betul-betul bisa kami tindak lanjuti,” ujarnya. (isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version