Di bawah kepemimpinan Kalemdiklat Polri Komjen Pol. Prof. Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si., Kampus Polri harus diposisikan sebagai objek vital. Karena disinilah tempat pendidikan krusial warga negara biasa menjadi anggota Polri dengan tugas dan kewenangan yang sangat besar. Tantangannya ?
Jakarta – (15/06/2021). “Saya mau jadi polisi.” Jawaban tersebut pasti pernah kita dengar saat berbincang dengan anak-anak tentang cita-citanya. Namun, bila saat ini setelah lulus SMA, SMK, bahkan lulus kuliah berencana ingin menjadi polisi, ada baiknya untuk mengetahui pendidikan kepolisian yang dibutuhkan. Pendidikan kepolisian merupakan salah satu syarat untuk menjadi polisi.
Lewat beragam jenis pendidikan, kita akan menjadi polisi yang nantinya akan bertugas di institusi Kepolisian Republik Indonesia. Dikutip dari Rencanamu.id, kamu juga dapat memilih jenjang atau tingkatan pendidikan menyesuaikan dengan pangkat yang akan diperoleh setelah lulus nanti di pendidikan kepolisian. Lama pendidikannya pun bervariasi. Untuk lebih lanjut, mari kita ketahui tentang pendidikan kepolisian.
Ragam Pendidikan di Polri
Yang pertama adalah Pendidikan Tamtama Kepolisian. Durasi pendidikannya selama lima bulan dengan output lulusannya berpangkat Bhayangkara Dua (Bharada). Selama Pendidikan Tamtama Kepolisian akan diajarkan fungsi teknis Kepolisian Lalu Lintas, Intelijen, Reserse dan Binmas,
Yang kedua adalah Pendidikan Bintara Kepolisian. Durasi pendidikannya selama tujuh bulan dan pangkat yang didapat oleh lulusannya adalah Brigadir Dua (Bripda). Adapun ketiga, adalah Pendidikan Taruna Kepolisian yang diselenggarakan di Akademi Kepolisian (Akpol) berdurasi empat tahun, lulusannya nanti akan memeroleh gelar Sarjana Ilmu Kepolisian (S.IK), serta menyandang pangkat Inspektur Polisi Dua (Ipda).
Bagi yang ingin menempuh Pendidikan Kepolisian setelah lulus dari perguruan tinggi juga bisa. Kita bisa mengikuti pendidikan selama enam bulan di Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPS). Pangkat yang didapatkan dari lulusan SIPS adalah Inspektur Dua (Ipda).
Kenapa Pilih Pendidikan Kepolisian?
Tentunya Pendidikan Kepolisian hanya diperuntukkan untuk warga negara Indonesia yang memiliki fisik dan mental kuat dan tangguh. Di sekolah kepolisian juga masih memungkinkan untuk menekuni bidang-bidang seperti musik dan teknologi informasi.
Potensi lulusan Setelah lulus dari Pendidikan Kepolisian, sudah pasti menjadi anggota Polri. Lulusan nantinya akan tergabung sebagai Anggota Polisi Lalu Lintas, Densus 88 Anti Teror, Penyidik Kepolisian, Anggota Brimob, maupun di bagian administrasi kepolisian.
Mata kuliah diajarkan
Saat bersekolah di pendidikan kepolisian, setiap siswa akan dibekali sejumlah ilmu pengetahuan dan keterampilan. Adapun pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan adalah Kriminologi Forensik, Psikologi Forensik, Hukum Perdata, Bahasa Inggris, Kedokteran Forensik, Sosiologi, dan Beladiri Polri.
Setiap warga negara Indonesia yang memiliki karakter teliti, tekun, detil, kritis, dan rasional cocok untuk meneruskan pendidikan kepolisian. Selain karakter di atas, ada juga seperti observan, independen, berwawasan luas, senang menganalisis, berkomunikasi, interpersonal, senang memecahkan masalah, dan bekerja sama dengan tim.
Mendidik Pendidik
Karena harus mencetak siswa unggul berkarakter, maka Polri pun harus mendidik para pendidiknya yang juga berkarakter. Polri memberikan pendidikan dengan cara berbeda kepada para Kepala Sekolah Polisi Negara. Meski berstatus sebagai pendidik, mereka diinapkan di barak layaknnya para calon bintara.
“Selama 3 hari kami berkumpul di Pusdik Sabhara. Tidur, menginap di flat atau barak yang biasanya digunakan para siswa. Saya sendiri sebagai Kalemdiklat bersama para Pati dan seluruh Kepala SPN serta Kapusdik juga tidur di barak siswa sehingga bisa merasakan atmosfir tidur di barak,” kata Kalemdiklat Polri Komjen Arief Sulistyanto yang kini bertugas sebagai Kabaharkam Polri di bawah Kapolri Listyo Sigit Prabowo. ”Siswa Tak Layak di Sekolah Inspektur Polisi akan langsung dipecat,” tegas Arief. Lebih lanjut ia mengatakan, pendidikan kepala SPN itu sangat penting untuk kelangsungan Polri di masa depan. Setiap tahun Polri mendidik kurang lebih 10 ribu bintara baru di SPN seluruh Indonesia.
“Kita buat sesuatu yang berbeda untuk membangun semangat dan soliditas para Kepala Sekolah Polisi Negara. Peran mereka sangat penting bagi Polri karena mendidik pembentukan Bintara Polri baru yang komposisinya 80 persen dari seluruh jumlah personel Polri,” ujarnya. Dia mengatakan cara itu dapat membangkitkan semangat dan rasa bangga dalam dan penugasan di Lembaga pendidikan. Selain itu Arief juga ingin menghapus istilah tempat basah dan tempat kering yang sering dikaitkan dengan penempatan tugas anggota Polri.
“Mereka harus saya ‘orangkan’ karena mereka adalah sosok yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia Polri. Saya berupaya untuk menghilangkan persepsi dan image yang selama ini menganggap adanya konotasi tempat ‘basah’ dan ‘kering’ dan penugasan di Lemdik sebagai tempat ‘kering’ yang hanya untuk ampiran ataupun buangan,” ucapnya. Dia menyebut cara itu berhasil membuat kepala SPN menjadi setara dengan pejabat di Direktur maupun kapolres. Dua jabatan itu, menurut Arief merupakan jabatan yang banyak diincar oleh anggota Polri. Selama memimpin Lemdiklat Polri, Arief dipandang berhasil nembangkitkan motivasi dan kepercayaan diri serta rasa bangga atas peran dan posisi mereka saat ini sebagai kepala sekolah yang tidak kalah hebat dari jabatan direktur ataupun kapolres yang mungkin selama ini menjadi obsesi mereka. Rasa baru dan semangat baru ini kami wujudkan dengan komitmen bersama sebagai ikrar kami untuk melaksanakan proses pendidikan dan latihan dengan baik untuk mewujudkan SDM Polri yang profesional, modern dan berintegritas,” pungkasnya.
Bagian dari Birokrasi
Kecuali mewujudkan SDM Polri yang mumpuni, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai bagian dari birokrasi, tidak terlepas untuk melaksanakan transformasi kelembagaan. Reformasi kelembagaan dan birokrasi yang menjadi agenda prioritas nasional saat ini, juga merupakan salah satu wujud inisiatif strategis dalam menghadapi tantangan penyelenggaraan pemerintahan dan upaya mewujudkan Polri yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan).
Deputi bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Alex Denni melihat banyak sekali yang telah dilakukan oleh Polri sebagai upaya reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan di internal lembaganya. “Kami yakin apa yang sudah dilakukan oleh Polri sudah sesuai dengan pakem transformasi organisasi, tinggal bagaimana melakukan akselerasi,” jelasnya saat menjadi narasumber pada diskusi panel I Peserta Sespimti Polri Dikreg ke 30 TA 2021 dengan topik Strategi Penataan Kelembagaan guna Mewujudkan Polri yang Presisi dalam Rangka Pembangunan Nasional.
Menurut Alex, akselerasi penting untuk dilakukan karena saat ini banyak sekali disrupsi yang menjadi pekerjaan rumah organisasi. Penyelenggaraan pemerintah misalnya, menghadapi beberapa tantangan, yakni globalisasi yang masif, penciptaan pengetahuan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, ego sektoral dan silo minded, tata kelola tidak terpadu, serta kompetensi dan literasi digital pegawai ASN. Sementara itu, Polri sendiri juga menghadapi tantangan yang tidak kalah besar misalnya, peningkatan gangguan kamtibmas, separatisme, radikalisme, dan terorisme, serta tuntutan reformasi. “Beragam tantangan ini perlu dijawab dan direspon dengan bijak dan cermat oleh Polri,” imbuhnya.
Dinamika tantangan yang demikian masif tersebut memerlukan penguatan kelembagaan Polri yang dilakukan dengan pembenahan serta penguatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan secara holistik, komprehensif, dan integratif. Penguatan kelembagaan Polri tidak bisa lagi bersifat parsial yang hanya fokus pada hal-hal yang berkaitan dengan konsepsi organisasi mekanis seperti pengembangan layer dan peningkatan level struktur organisasi.
Lebih lanjut, Alex menjelaskan semua organisasi tidak hanya pemerintah memiliki urgensi untuk melakukan delayering. Layer-layer yang panjang dipangkas sehingga keputusan bisa diambil dengan lebih cepat mengingat era saat ini membutuhkan kecepatan dan ketepatan.
“Pemangkasan birokrasi itu tidak hanya mengurangi atau memangkas eselon, yang paling penting adalah mengubah mindset dan melakukan penyesuaian sistem kerja,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Agung Budi Maryoto kepemimpinan Polri yang Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi berkeadilan (Presisi) ditekankan pentingnya kemampuan predictive policing agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melalui analisis berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sedini mungkin.
“Konsep Polri Presisi merupakan fase lebih lanjut dari Polri Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya) dengan pendekatan problem oriented policing,” jelasnya. Staf Ahli Bidang Politik & Hukum Kementerian PANRB Muhammad Imanuddin menyampaikan harapannya bagi para peserta Sespimti Polri Dikreg ke 30 TA 2021. Ia berharap melalui pendidikan Sespimti ini bisa lahir para perwira-perwira Polri yang reformis. “Semoga nantinya lahir perwira Polri yang bisa membawa gagasan-gagasan dan rencana-rencana yang solutif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan institusi Polri yang Presisi,” tutupnya.
Objek Vital
Sangat masuk akal, kalau dengan beban dan tugas Polri Presisi yang demikian kompleks, Kalemdiklat Polri Komjen Pol. Prof. Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si. akan menjadikan Kampus Polri sebagai objek vital. Pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting dewasa ini. Lembaga Pendidikan Polri adalah tempat untuk mendidik calon-calon polisi. Dari warga negara biasa menjadi polisi. Yang nantinya akan diberikan kewenangan yang sangat besar. Undang-undang nomor 2 tahun 2002, memberikan kita 3 tugas pokok, 12 tugas-tugas dan 37 kewenangan. Dari yang soft sampai yang hard. Dan kewenangan untuk merebut atau merampas HAM.
Demikian luas dan besarnya tanggung jawab seorang anggota Polri, maka dia bukanlah anggota sembarangan. ”Dia punya kewenangan dari hanya membimbing seorang ibu menyeberang jalan, hingga beroleh kewenangan menembak di jidat seorang pelanggar hukum, menggusur seseorang dari tempat tidur secara paksa masuk bui,” tegas Rycko. Kewenangan itulah yang tidak boleh jatuh kepada anggota Polri yang tidak memiliki kapabilitas dan integritas tinggi. Anggota Polri harus memiliki jiwa kepeloporan di mana pun dia berada.
Setukpa Tatap Muka
Kepala Setukpa Lemdiklat Polri, Brigjen Polisi Mardiaz Kusin Dwihananto mengatakan, saat ini tahapan untuk pendidikan tatap muka bagi 2.016 calon perwira (capa) yang sedang mengikuti Sekolah Inspektur Polisi (SIP) Angkatan 50 Tahun Ajaran 2021 sedang dipersiapkan. “Pendidikan SIP angkatan 50 TA 2021 ini dilaksanakan dengan perencanaan yang sangat matang, dengan memedomani protokol kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19,” sebut Mardiaz.
Menurut mantan Wakapolda Sumatera Utara itu, sejak perencanaan penyusunan program pendidikan, Setukpa sudah mempersiapkan tahapan-tahapan untuk dapat menyelenggarakan pendidikan SIP secara tatap muka di tengah pandemi COVID-19. Tahapan awal, dimulai dengan penyiapan piranti lunak yang berupa SOP penyelenggaraan pendidikan SIP di masa pandemi COVID-19 yang berkaitan dengan operasional pendidikan. Kemudian, dari 549 personel 92% diantaranya sudah melaksanakan vaksinasi dosis 1 dan 2 dan sisanya sudah dijadwalkan pada akhir Maret 2021 lalu.
Dari hasil pengecekan data kesehatan, dari 2016 siswa, 91 orang belum mendapat vaksin dosis 1, dan 1.672 belum mendapatkan vaksin dosis 2, dan sudah dijadwalkan pada 25 Maret sampai 5 April 2021 akan melaksanakan vaksin. Mardiaz yang juga pernah menjabat Kapolres Nias dan Kapolresta Medan itu menyampaikan sarana dan prasarana mendung pendidikan tatap muka di SIP sudah disiapkan betul.n”Mulai dari penataan seluruh ruangan, sterilisasi seluruh ruangan dan lingkungan secara rutin dengan penyemprotan desinfektan,” katanya.
Kemudian dilakukan fogging, penempatan bilik-bilik desinfektan pada setiap gerbang masuk perkantoran dan batalyon siswa, area cuci tangan dan hand sanitizer dan tong sampah medis di tempat mudah dijangkau. “Semua tahapan ini telah melalui supervisi dari Tim Lemdiklat Polri, dan Setukpa dinyatakan sudah layak melaksanakan pendidikan tatap muka,” ujarnya. Pendidikan SIP Angkatan 50 Tahun Ajaran 2021 tambahnya sudah berlangsung, dan dibuka pada 18 Maret 2021 oleh Kalemdiklat Polri Komjen Pol. Prof. Dr. H Rycko Amelza Dahniel, M.Si.
Ubah Kurikulum
Sebaik apa pun upaya yang dilakukan Polri dalam melakukan pembinaan kepada anggotanya, masih saja muncul suara sumbang, seperti pandangan atas masalah HAM. Kasus kekerasan terhadap tahanan harus dihentikan. Caranya bisa dimulai dengan memperbaiki kurikulum pendidikan polisi. Tidak boleh lagi ada kasus penyiksaan hingga tewas seperti yang dialami Herman, warga Balikpapan. Hal itu disampaikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik. Menurut dia, sudah saatnya dilakukan perubahan kurikulum kepolisian. Komnas HAM, lanjut dia, sudah membicarakan masalah tersebut dengan Polri. Sebab, Polri juga meminta saran dari Komnas HAM.
’’Kami sepakat untuk merevisi lagi kurikulum pelatihannya,’’ungkap Damanik. ’’Komnas HAM juga diminta untuk (masuk) sampai di sekolah kepolisian. Akpol, SPN-nya. Sejak dini mereka dikasih tahu standar hak asasi,’’ lanjutnya. Dengan bekal pelatihan itu, para polisi diharapkan tidak sembarangan ketika bertugas. Menurut Damanik, pemahaman itu tidak hanya penting bagi aparat kepolisian. Personel TNI juga harus diberi tahu. Sebab, mereka juga punya polisi militer. Demikian pula petugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Dengan begitu, target menghilangkan praktik kekerasan dan penyiksaan terhadap tahanan, apalagi sampai meninggal, benar-benar hilang.
Komnas HAM, lanjut Damanik, terus mendorong agar kasus-kasus dugaan penyiksaan terhadap tahanan diproses hukum. Tidak berhenti di mekanisme internal kepolisian. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyatakan akan berusaha meningkatkan perlindungan HAM di Indonesia. Khususnya melalui ratifikasi protokol opsional konvensi internasional menentang penyiksaan atau OPCAT. ’’Menko sangat concern dengan itu, pembenahan ruang tahanan istilah kami,’’ terang Damanik. Hal itu penting lantaran Komnas HAM menilai tidak ada toleransi untuk penyiksaan.
Dalam waktu dekat, Damanik akan berbicara langsung di hadapan para pimpinan Polri. Dia mengaku sudah mendapat lampu hijau dari Polri untuk mengisi salah satu sesi dalam rapat pimpinan TNI-Polri.’’Saya akan angkat isu bahwa kepolisian kita perlu betul-betul memperhatikan proses penanganan tahanan,’’ ujarnya. Diharapkan, mereka paham dan mengerti bahwa tidak boleh ada lagi kekerasan, apalagi penyiksaan tahanan. Damanik tak menampik, organisasi-organisasi yang concern mengawal isu HAM sering mendapat laporan. Demikian pula Komnas HAM. Karena itu, dia ingin ada perubahan. Supaya tidak ada lagi Herman-Herman berikutnya. ’’Polri juga mengakui. Jadi, mereka juga sebenarnya pusing bagaimana mengatasi persoalan-persoalan di bawah,’’ imbuhnya.
Sementara itu, pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menjelaskan, arogansi oknum-oknum anggota kepolisian muncul karena ketidakpahaman pada aturan hukum dan SOP. Akibatnya, mereka berpikir seolah kebal hukum sebagai penegak hukum. ’’Padahal, tidak ada yang kebal hukum,’’ tuturnya. Dia menuturkan, polisi seharusnya paham bahwa tersangka, bahkan terpidana, memiliki hak-hak yang dilindungi undang-undang. ’’Inilah yang perlu dipahami,’’ terangnya.
Di bidang pengawasan juga terdapat kelemahan. Selama ini, dalam memperlakukan tersangka pelanggaran hukum, tidak ada pengawasan yang ketat. Bila dilihat dalam kasus meninggalnya Ustad Maaher, seharusnya bagian Pusdokkes Polri memastikan bahwa seseorang yang diperiksa dan ditahan benar-benar sehat. Sebelum dilakukan tindakan paksa semacam itu. ’’Ini peran Pusdokkes Polri yang utama,’’ jelasnya.
Di sisi lain, Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono menyebutkan, pemeriksaan terhadap oknum anggota kepolisian yang melanggar aturan akan dilakukan dengan transparan. Semua yang terlibat telah diberi sanksi. Baik sanksi pidana maupun kode etik. ’’Semua pasti diproses. Di Solok satu tersangka dan lima lain kode etik. Lalu, di Balikpapan, semua tersangka,’’ tegasnya. Mabes Polri dan Polda Kalimantan Timur (Kaltim) terus mengusut kasus penganiayaan yang menewaskan Herman, warga Balikpapan. Setelah menetapkan enam anggota Polresta Balikpapan sebagai tersangka, polisi kini mengusut dugaan keterlibatan pihak lain. Sebab, ada kemungkinan pelaku penganiayaan bukan hanya enam polisi tersebut.
’’Pengembangan masih berjalan,” kata Kabidhumas Polda Kaltim Kombespol Ade Yaya Suryana seperti ditulis Kaltim Post. Pemeriksaan lanjutan tetap dilakukan tim penyidik Ditreskrimum dan Bid Propam Polda Kaltim. Mereka juga yang menetapkan tersangka pada enam polisi itu. Yakni, RH, KKA, AGS, GSR, ASR, dan RSS. Enam orang tersebut bertugas di regu yang sama. Ada satu orang berpangkat inspektur satu (iptu). Lima lainnya berpangkat ajun inspektur hingga brigadir. Ade menegaskan, pengusutan akan berjalan transparan. Apalagi, Kapolda Kaltim Irjen Pol Herry Rudolf Nahak telah menginstruksikan agar kasus tersebut diselidiki secara mendalam. ’’Sejak kejadian korban tewas, enam oknum polisi tadi langsung dicopot, dimutasi, dan diperiksa,” tegas Ade. Apakah ada indikasi calon tersangka lain? ’’Sementara masih enam orang itu. Karena dalam proses pemeriksaan, saksi, alat bukti, dan lainnya wajib saling berkaitan,” imbuhnya.
Begitulah kompleks dan rumitnya tugas Polri. Selalu krisis dan menyerempet hal-hal kritis dan rawan terjadinya pelanggaran. Namun ini bukan berarti untuk melemahkan Polri, justru pada kondisi ini adalah kesempatan Polri untuk menjelaskan kepada masyarakat akan fungsi, peran dan kewenangan Polri. Masyarakat harus memahami bahwa seringkali ada tugas-tugas dan situasi sulit dimana Polri harus mengambil tindakan tegas cenderung ekstrim. Bahkan demi keselamatan bangsa dan negara, Polri punya kewenangan besar dan keras meskipun harus melanggar atau merebut Hak Asasi Manusia. (Saf).