Peran polisi dalam sejarah pembebasan Irian Barat 58 tahun yang silam

Bantuan polisi dan kepolisian dalam pembebasan Irian Barat yang sekarang dikenal dengan nama Papua sungguh besar dan vital dalam sejarah. Membicarakan mereka tidak lepas dari peran dari Komite Pelopor dan peran Brimob yang menonjol dalam sejarah pembebasa Irian Barat hampir 60 tahun yang silam. Tanpa peran positif mereka, upaya pembebasan Irian Barat mungkin sulit sekali dapat terwujudkan.

Jakarta, 4 Mei 2021. Masalah Irian Barat dimulai ketika Presiden Sukarno mempertanyakan mengapa wilayah ini belum mendapat pengakuan  Belanda sebagai bagian NKRI meski kemerdekaan bagi Indonesia telah mereka akui. Kemudian, pada 1956, Kabinet Ali membatalkan persetujuan KMB beserta aspek-aspek politiknya dengan pihak Belanda. Pembatalan persetujuan itu ditandatangani Presiden Soekarno yang langsung membentuk Propinsi Otonomi di Irian Barat  dengan ibukota di Soa-Siu, Tidore. Sultan Tidore kemudian dilantik sebagai Gubernur propinsi ini pada 23 September 1956. Perlawanan rakyat Irian Barat terhadap Belanda kemudian meletus di Enarotali dan Obana. Belanda mengirim pasukan Marinir dan polisi mereka dari Biak dengan menggunakan pesawat KLM.

Sementara itu Sukarno bergerak untuk mencoba membebaskan Irian Barat dengan memimpin serangkaian negosiasi dengan Belanda meski langkah-langkahnya kemudian gagal. Setelah itu, Sukarno mencoba menggalang dukungan lewat PBB dan hasilnya sama saja. Pada 15 Agustus 1962, perundingan selang Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Akbar PBB di New York. Dalam perundingan itu, Indonesia diwakili Soebandrio, dan Belanda diwakili Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Menurut sejarawan Richard Chauvel, Di bawah tekanan Amerika Serikat, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya sepakat menyerahkan Irian Barat kepada Otoritas PBB (UNTEA). 

Semasa proses peralihan, wilayah Irian Barat dipegang oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Di sisi lain, Belanda harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun tetap di bawah koordinasi UNTEA. Tanggal 31 Desember 1962 bendera belanda resmi diturunkan dan digantikan bendera merah putih untuk menandai kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Irian Barat yang kini disebut sebagai Papua. Peringatan pembebasan Irian Barat setiap 1 Mei diperingati karena merupakan saat di mana Indonesia berhasil memperjuangkan pembebasan Papua lewat perundingan perjanjian New York yang meminta Belanda menyerahkan Papua bagian barat kepada pihak Indonesia selambat-lambatanya tanggal 1 Mei 1963.

Dengan bantuan PBB, Indonesia lalu memberi kesempatan kepada penduduk Papua Barat untuk mengambil keputusan secara lepas sama sekali melewati musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bidang barat mengenai kehendak penduduk Papua tetap bergabung dengan Indonesia atau memisahkan diri. Hak itu disediakan sesuai standar internasional Penentuan argumen pada 1969. Setelah referendum 1969, yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah beberapa pengamat Barat, hasil referendum ini diterima Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81anggota PBB lainnya.

Trikora dan Peran Vital Kepolisian

Belanda memang dianggap ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka dengan membentuk parlemen pada Februari 1961 dan  Komite Nasional Papua dibentuk pada 19 Oktober 1961. Mereka juga berusaha membangun kekuatan militer Papua. Atas pergerakan pihak Belanda, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia menyusun strategi. Tepat pada 6 Maret 1961, Korps Tentara Kora-1 pun dibentuk dengan panglima komando Mayor Jenderal Soeharto. Korps Tentara Kora-1 pun berubah-ubah nama seiring waktu, mulai dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) sampai Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Selain itu, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) pada 11 Desember 1961.

Aksi-aksi Trikora tidak lepas dari dilancarkannya operasi-operasi rahasia menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian Barat. Dalam hal inilah kepolisian Negara berperan utama mengambil langkah-langkah utama dalam mendukung Trikora. Penempatan perwira polisi ke dalam Komando Mandala dimaksudkan sebagai rencana pembentukan kesatuan dalam kepolisian dalam rangka operasi pembebasan Irian Barat. Ini diwujudkan dalam pembentukan staf yang disebut Staf Komando Pelaksana Pembebasan Irian Barat. Dalam Trikora, ada pembentukan Staf Operasi Pembebasan Irian Barat yang anggotanya terdiri dari perwira tinggi angkatan dan kepolisian yakni ; Mayjen A Yani (AD), Komodor Wiryo Saputro (AU), Kolonel Subono (AL), Kombes Sucipto (Brimob).

Brimob jelas memainkan peran dalam membantu Papua dalam pembebasan Irian Barat. Kepolisian Republik Indonesia waktu itu menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa Resimen Tim pertempuran (RTP). Kepala Kepolisian Negara pada 16 Desember 1961 membentuk Resimen Tim Pertempuran I (RTP I) yang terdiri atas gabungan kesatuan-kesatuan Brigade Mobiele seluruh Indonesia. Kesatuan RTP I/Brimob berkekuatan 2.400 personel terdiri atas Markas Komando, empat Batalyon Senapan Brimob, satu Kompi Senjata Bantuan, dan satu Datasemen Telekomunikasi/Perhubungan. RTP I/Brimob dipimpin Komisaris Tk. I R. Soetrisno sebagai komandan dan Komisaris Tk. II Martoyo sebagai wakil komandan. Bersamaan dengan dibentuknya Komando Mandala, Komisariat Kepolisian Irian Barat dimasukkan ke dalam Komisariat Kepolisian Maluku.

Komisariat Kepolisian Irian Barat hanya memiliki personel satu kompi yang dipersiapkan di pulau Gebe. Peleburan tersebut menghasilkan gabungan Komisariat Kepolisian Gaya Baru yang tergabung dalam G-5/Koti. Dalam Angkatan Kepolisian, selain Mobiele Brigade yang menjadi inti operasi militer pembebasan Irian Barat disertakan pula  Polisi Perairan dan Polisi Udara. Empat kapal patroli milik Polisi Perairan dan Udara dikirimkan dan dilengkapi dengan delapan motor tipe seaskif. Karenanya kerjasama dengan pihak Angkatan bersenjata dapat terpenuhi demi membebaskan Irian Barat. Keikutsertaan Polri ke Rumbat  juga merupakan bagian penting dari operasi Trikora. Dukungan kuat dati penduduk di Pulau Gorom diberikan kepada  tim operasi ini. Perahu berukuran sedang terbuat kayu kenari  kemudian disiapkan dan dioperasikan menggunakan motor tempel.

Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang disiagakan di pulau Gorom  adalah dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo. Pada 4 April 1962 pukul 15.00, 18 anggota Pelapor Korps Brimob diberangkatkan menuju Fakfak dan dipimpin oleh AIP I Hudaya Sumarya. Dalam perjalanan, insiden perahu tenggelam terjadi. Pada 13 Mei 1962 percobaan pengiriman anggota Pelopor ke Fakfak kembali dilakukan. Sebanyak 20 anggota Pelopor Korps Brimob menggunakan perahu besar dengan layar dan dilengkapi dua buah motor tempel. Namun kedatangan rombongan ini dipergoki dua kapal destroyer milik Belanda sebelum tiba di  daratan. 

Kapal kiriman Pelopor Korps Brimob kemudian dikepung dan tidak mampu melawan tembakan-tembakan dengan hanya menggunakan tembakan AR 15 beserta granat ATS. Mereka akhirnya menyerah dan ditawan tentara Belanda. Rombongan Pelopor Korps Brimob yang ditawan Belanda semula ditempatkan di Sorong, namun kemudian dipindahkan ke Holandia (Jayapura) dan berakhir di pulau Hundi, ditahan bersama anggota pasukan RPKAD, pasukan Brawijaya, dan Pasukan Diponegoro yang tertangkap sebelumnya. Pasukan Pelopor Korps Brimob diketahui mempersiapkan pasukannya untuk berangkat ke daratan Irian Barat untuk menyerang Belanda dan menggunakan speedboat tipe fiberglass milik Angkatan Darat. Pada 7 Agustus pasukan Pelopor Korps Brimob di Gorom diberangkatkan menuju Fakfak, terdiri atas  65 personel beserta sukarelawan yang dipimpin Ajun. Inspektur Pol. Hudaya Sumarya. Sekitar tengah malam, pasukan ini berhasil mendarat di daratan Irian Barat di Jazirah Oning, Tanjung Fatagar, daerah Rumbati dan bergerak menaiki bukit.

Pasukan Pelopor akhirnya menguasai keadaan, daerah, medan serta penduduk asli di daerah tersebut. Wakil Raja Rumbati yang pro Indonesia, Mohammad Tahir menyarankan agar pasukan kembali ke hutan, sebab banyak tentara Indonesia yang mati diserang  Belanda. Pasukan Belanda diketahui menyerang pulau Was menggunakan dua buah kapal perang serta pesawat perang Neptune sehingga kontak senjata tidak terelakkan. Pada 15 Agustus 1962 pasukan Hudaya Sumarya meninggalkan Pulau Was menuju Bukit Tanjung Fatagar untuk bersama-sama pasukan Pelopor lain pimpinan Pranoto akan menuju Fakfak.  Gerakan pasukan Hudaya Sumarya ternyata sudah lama diketahui oleh Belanda. Namun karena pada waktu itu hujan deras, jejak pasukan Hudaya terhapus dan tidak dikenali oleh pasukan Belanda.

Sementara itu, dalam perjalanan bertemu dengan pasukan Hudaya Sumarya, pasukan Pranoto berpapasan dengan marinir Belanda. Kontak senjata kemudian terjadi antara pasukan Pranoto dengan marinir Belanda. Di tengah-tengah kontak senjata dua pasukan tersebut, pasukan Hudaya Sumarya tiba dan bertemu pasukan Pranoto. Karena kekuatan pasukan Pelopor menjadi satu, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Pada 17 Agustus 1962 pasukan Pelopor merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Indonesia dengan mengibarkan bendera merah putih. AIP Hudaya Sumarya sendiri bersama anggotanya mengambil alih pos-pos Belanda di Rumbati.

Korps Brigade Mobil menugaskan sejumlah pasukan dan pejabat untuk dipekerjakan di UNTEA. seperti Komisaris Polisi Tk. IV E. Karamoy dan Komisaris Polisi Tk. I H. Schiff yang diberangkatkan ke Irian Barat pada Oktober 1962. Pada Januari 1963 diberangkatkan enam bintara pelatih Brigade Mobil, sedangkan satu kompi Pelopor Brigade Mobil mulai bertugas di Irian Barat pada bulan Februari 1963 Brigade Mobil mengatur langkah perlahan-lahan strategi keamanan agar tidak terjadi bentrok antara Brigade Mobil dan UNTEA serta Polisi buatan Belanda.

Pada akhir Mei 1963 Kepala Kepolisian Karesidenan Kota Baru mengambil tindakan melancarkan serah terima kekuasaan dari UNTEA ke pemerintah Republik Indonesia.  Selanjutnya pasukan Datasemen Pelopor Brimob dengan pimpinan IP. II. Hudaya Sumarya mendirikan Sekolah Dasar di Rumbati, Sekolah Agama dan sekolah Dasar di Fak-fak dengan guru-gurunya diambil dari pasukan Hudaya Sumarya sebagai tugas teritorial. Hudaya Sumarya merupakan Komandan Datasemen Pelopor sekaligus pimpinan Datasemen III, satu di antara empat datasemen Pelopor yang dipersiapkan ABRI untuk operasi Trikora. Dunia waktu itu menyangka rakyat Irian Barat akan berontak melawan pemerintahan Republik Indonesia.

Pada Mei 1963 UNTEA menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada pemerintah Republik Indonesia sehingga ini mencerminkan tuduhan kekalahan Belanda dari Indonesia dalam bidang politik serta militer. Setelah operasi Trikora selesai, semua gerilyawan akan menerima tugasnya dan dikirim kembali ke kesatuannya masing-masing di seluruh Indonesia.

Resimen Pelopor Yang Signifikan

Menurut Anton Agus Setia dan dan Andi Darlis dalam buku Resimen Pelopor: Pasukan Elite yang terlupakan, resimen Pelopor ini memiliki sejarah yang menarik. Awalnya dimulai ketika di rentang rentang 1955-1958, Sukarno justru meminta pihak kepolisian ketimbang tentara menjalani pelatihan militer yang ditawarkan Amerika pada 1959, sesudah konspirasi CIA menggoyahkan Sukarno diketahui. Cikal bakal resimen ini sebenarnya dapat ditarik ke belakang sejak 10 Juni 1955, ketika sekolah pendidikan mobile Brigade (SPMB) didirikan di Watukosek Porong Jawa Timur.  Pada 16 Agustus 1961 Presiden Sukarno mengubah Mobrig menjadi Brigadir Mobil atau Brimob dan pelatihan pemerintah AS telah menghasilkan Kompi 5994 Ranger Mobile Brigade berkekuatan 80 personil yang terus bertambah jumlahnya.

Nama kompi inilah yang kemudian dikenal dengan nama Resimen Pelopor. Ia diresmikan pada 8 Februari 1962 di Asrama Brimob Yon 1232/ Kelapa Dua Depok. Sebelum terlibat pada operasi pembebasan Irian barat/operasi Tritura, dalam sejarah Resimen pelopor ini terlibat dalam berbagai operasi pemberontakan di Indonesia seperti DI/TII kartosuwiryo, DI/TII Daud Beureuh, PRRI, hingga DI/TII Kahar Muzakar. Satu tim Menpor sukses menyusup ke Papua bidang barat dengan melewati laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor juga terus masuk jauh ke pedalaman Papua bidang barat dan melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda di Irian Barat. Pada 12 Januari 1962, pasukan ini sukses mendarat di Letfuan. Namun, pada 18 Januari 1962, pemimpin tingkatan lain telah melapor ke Presiden Soekarno bahwa tidak adanya perlindungan  dari TNI AU menyebabkan operasi ini gagal.

Berakhirnya Resimen pelopor

Pada era Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso, dengan kapasitasnya sebagai panglima kepolisian, ia memerintahkan untuk mengkhususkan polisi pada upaya penegakan hukum, sehingga restrukturisasi dan akibatnya resimen Pelopor bisa diperkecil. Seluruh anggota resimen pelopor, oleh Hoegeng dikirimkan ke Papua guna membentuk Polda Irian Jaya. Itu sebabnya mereka kini tampaknya merupakan embrio kelahiran Brimob Daerah Papua.

Masih perlu digali lagi

Peran dan kontribusi polisi dan kepolisian dalam sejarah pembebasan Irian Barat sungguh menarik. Meski demikian, ia harus selalu menjadi fokus penelitian di msa depan. Bahan-bahan sejarah penting yang merekam detail-detail peristiwa ini sengaja tersimpan dalam catatan arsip–arsip Papua yang tersimpan pada koleksi di  ANRI (Arsip Nasional)  RI, Pusat Sejarah Tentara nasional Indonesia, maupun Arsip Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Dari jalan masuk berjudul Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat (1949-1969) terbitan ANRI 2016  ini menjelaskan adanya 419 satuan arsip, berisi dokumen-dokumen maupun foto-foto yang sempat terabadikan selama perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut.

Dokumen-dokumen tersebut  isinya beragam, mulai dari soal infiltrasi, penangkapan komandan polisi Belanda Louis van Krieken, peran polisi militer sampai kasus ledakan granat di Cendrawasih, maupun latihan-latihan militer yang dilakukan oleh TNI AD, AL, AU dan Kepolisian selama operasi Trikora. Selain itu juga bisa ditemui surat-menyurat Kepala kepolisian Negara kepada Perdana Menteri,  laporan tertutup Komisariat tinggi Belanda tentang masalah dalam negeri dan Irian Barat (1953), keamanan sensor dan surat menyurat tentang demonstrasi orang-orang asli Papua yang diorgnisir Belanda untuk menentang masuknya Irian Barat ke RI pada  periode 15 April-12 Mei 1955. (Isk –dari berbagai sumber).

Exit mobile version