Citra Polisi Indonesia yang Keliru dalam Film “Java Heat”

Di tengah pemberitaan dan upaya penanggulangan terorisme yang marak diberitakan media, pernah muncul sebuah berjudul “Java Heat” pada tahun 2013. Film “Java Heat” adalah salah satu film pasca reformasi 1998 yang mengangkat tema penegakan hukum dalam aksi kriminalitas yang dibalut dengan ancaman aksi terorisme. Namun penggambaran polisi Indonesia, khususnya Detasemen 88 digambarkan secara keliru. Bagaimana pula Polri meluruskan kekeliruan tersebut?

Jakarta, 31 Maret 2021 – Sejak terjadinya pemboman di Bali pada 2002 lalu, Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap tidak aman. Film “Java Heat” muncul dengan sebuah pandangan baru, diproduksi dan disutradarai oleh salah seorang warga Amerika Serikat bernama Conor Allyn. Film ini menjadi perwujudan kolaborasi antara budaya Barat dan Timur yang mencoba memberikan sudut pandang berbeda tentang Indonesia. Sang sutradara, Conor Allyn ingin memberikan gambaran kepada industri Hollywood kalau Islam di Indonesia tidak seperti yang mereka pikirkan, lewat film inilah ia mencoba memberikan fakta-fakta menarik tentang kebudayaan Jawa yang lembut dan keharmonisan antar umat beragama. Detasemen 88 yang direpresentasikan dalam film ini bukanlah Detasemen 88 yang ada di dunia nyata.

Detasemen 88 dalam film hanya sebatas nama yang diberikan oleh narator pada kesatuan kepolisian di Indonesia, seperti NYPD (New York Police Department) dalam film-film Amerika, bukan sebagai kesatuan khusus dalam kepolisian yang menangani kasus terorisme. Namun biar bagaimanapun penonton akan mengasosiasikan Detasemen 88 dengan kesatuan polisi khusus Densus 88 di dunia nyata. Tetapi dalam film, narator malah banyak menggambarkan bahwa Detasemen 88 adalah sebuah institusi penegakan hukum yang sangat kuno dan ketinggalan zaman melalui atribut-atribut yang digunakan dan setting markas Detasemen 88. Hal tersebut menunjukkan bahwa narator film “Java Heat” ini tidak kredibel dalam merepresentasikan Detasemen 88 sebagai kesatuan khusus yang menangani aksi terorisme di Indonesia.

Kesan Tidak Terstrukturnya Penegakan Hukum di Indonesia

Film ini menghadirkan representasi aparat penegak hukum yang tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Representasi seperti ini juga kerap ditemukan dalam narasi di sinetron-sinteron televisi Indonesia, dimana aparat penegak hukum kerap digambarkan melakukan salah tangkap hanya dengan berbekal kecurigaan semata tanpa membawa bukti yang cukup. Representasi lain yang kerap dimunculkan dalam sinetron-sinteron televisi Indonesia adalah aparat penegak hukum Indonesia adalah aparat penegak hukum yang korup, mereka bisa dibayar dengan sejumlah uang dan kemudian diminta menangkap seseorang yang belum tentu bersalah.

Sebelum film Java Heat ada film aksi lain tentang kerja polisi khusus yang berjudul The Raid (2012). Film ini mengisahkan tentang Polisi korup bernama Wahyu, yang memerintahkan polisi jujur bernama Rama untuk melakukan penyergapan di blok apartemen kumuh sarang narkoba, gangster, dan mafia. Kesamaannya terletak pada oknum polisi yang tidak kredibel memerintahkan melakukan operasi penyergapan. Jika pada film “Java Heat”, tokoh Pak Jenderal tidak kredibel dari sisi penyelidikan yang kurang mendalam dan tidak adanya alat bukti yang cukup untuk menetapkan Faruq Al ‘Assan sebagai tersangka utama dan melakukan penyergapan terhadapnya, namun tokoh Wahyu dalam The Raid  lebih parah. Ia memerintahkan Rama dan timnya melakukan penyergapan demi misi balas dendamnya pada gangster dan mafia narkoba di blok apartemen itu karena sudah menghentikan pemberian uang jatah keamanan pada dirinya. Dalam hal ini, unsur struktural yang dilanggar oleh Wahyu adalah ia tidak pernah melaporkan kejahatan mafia di blok apartemen itu pada institusinya, sebab ia sendiri pun terlibat dalam upaya mendukung kelancaran bisnis narkoba para mafia tersebut.

Bentuk Hegemoni Media Hollywood

Dalam setiap produksi film, Hollywood selalu menyelipkan unsur-unsur aksidalam menggambarkan karakter aparat kepolisian mereka. Tak terkecuali film “Java Heat” ini. Film besutan sineas Hollywood, Rob Allyn dan Conor Allyn ini menggambarkan sosok Polisi Marinir AS bernama Jake yang aktif melakukan aksi-aksi tembakan ketika menghadapi penjahat di dalam narasi. Namun, penggambaran karakter Jake sebagai Polisi Marinir AS ternyata juga menghasilkan penggambaran lain tentang Letnan Hashim sebagai Letnan Polisi di kesatuan Detasemen 88. Dalam narasi ini terdapat sebuah dominasi kekuatan aparat penegak hukum Amerika atas aparat penegak hukum Indonesia, sehingga gambaran yang muncul dalam narasi adalah aparat penegak hukum Indonesia itu lemah.

Melalui film “Java Heat”, Amerika seolah-olah ingin menciptakan sosok Polisi Marinir bak pahlawan yang hebat, kuat, dan tak tertandingi. Beberapa gambaran yang menonjolkan sisi maskulinitas dari sosok hero dalam film ini diantaranya, saat Jake menunjukkan keahlian bersenjatanya ketika melawan Achmad cs. Jake yang seorang diri melawan Achmad cs, berhasil menumpas dua orang kawanan Achmad dan membuat Achmad lari tunggang langgang. Setelah Achmad pergi, Jake bergegas menolong Letnan Hashim yang sedang terluka parah akibat ditabrak oleh Achmad. Gambaran sisi maskulinitas lainnya adalah saat Jake berolahraga di rumahnya dan berusaha berkomunikasi dengan temannya di Amerika untuk mencari tahu tentang gambar macan yang ia temukan di tubuh mayat korban. Lebih lanjut, narator juga menggambarkan sosok Jake yang begitu konsisten melakukan pencarian pada Malik dari saat melakukan penyelidikan hingga saat mengejar Malik ke Candi Borobudur. Ini menunjukkan bahwa Jake sangat berorientasi menyelesaikan kasus hingga tuntas.

Penggambaran sosok Jake ini semakin menegaskan adanya unsur hegemoni media Hollywood.Melalui penggambaran sosok pahlawandalam film-filmnya, termasuk dalam film “Java Heat” ini, Amerika melakukan pengukuhan mitos heroisme serta penanaman ideologi bahwa aparat penegak hukum Indonesia tidak lebih kuat dan hebat dari aparat penegak hukum Amerika. Namun penggambaran yang disuguhkan narator film “Java Heat” ini benar-benar penggambaran yang tidak seimbang. Hegemoni media Hollywood justru sangat terasa, Rob Allyn dan Conor Allyn sebagai narator tampak sekali ingin menjatuhkan reputasi dan kredibilitas kesatuan Densus 88 sebagai institusi penegakan hukum anti-terorisme dengan dominasi-dominasi superioritas yang ditonjolkan melalui karakter Jake Travers. Padahal faktanya, Densus 88 beserta seluruh anggotanya tidak selemah dan sebodoh seperti konstruksi dalam narasi film.

Sebab sebelum beroperasi, anggota kepolisian yang ditunjuk sebagai anggota Densus 88 harus menjalani serangkaian pendidikan dan pelatihan anti-terorisme dari organisasi intelijen Amerika Serikat: CIA dan FBI. Dengan kata lain, Densus 88 sudah pasti berisikan orang-orang handal dari Kepolisian RI dengan kualifikasi terbaik di bidangnya. Apalagi, seluruh anggota Densus 88 dilengkapi dengan peralatan-peralatan canggih ketika beroperasi. Jadi, hegemoni yang berusaha ditampilkan narator dalam film ini terasa begitu mustahil.  Penggambaran yang disuguhkan narator film “Java Heat” ini benar-benar penggambaran yang tidak seimbang. Kredibilitas narator sangat dipertanyakan dalam mengkonstruksi pesan penegakan hukum di Indonesia. Narator yang mengaku sudah melakukan riset selama lima tahun untuk membuat film ini, ternyata tidak bisa memformulasikan data yang ia dapatkan dengan baik dan matang.

Produksi Film Polisi Indonesia

Untuk menjawab kekeliruan Hollywood dalam menggambarkan polisi Indonesia, untungnya ada produksi film nasional  yang berjudul “22 Menit” dirilis pada tahun 2018. Dalam film ini ditampilkan hanya butuh 22 menit  bagi Polri untuk meringkus teroris saat Bom Sarinah alias Bom Thamrin terjadi di Jakarta, Januari 2016 lalu. Angka itu lantas dijadikan judul film karya  Eugene Panji dan Myrna Paramita yang diangkat dari kisah nyata Bom Thamrin, 22 Menit. Panji dan Myrna membuat 22 Menit seperti film Hollywood, Vantage Point yang mengambil cerita dari berbagai sudut dan tokoh yang berbeda. Bedanya, yang satu upaya pembunuhan terhadap Presiden Amerika, satu lagi pengeboman di jantung kota Jakarta. Namun cara menceritakannya mirip. Film diceritakan berulang dari sudut pandang berbeda-beda. Film ini memilih lima sudut pandang berbeda.

Ario Bayu menjadi anggota pasukan anti terorisme bernama Ardi, Ade Firman Hakim memainkan polisi lalu lintas bernama Firman, Ardina Rasti sebagai pelanggar lalu lintas bernama Dessy, Hana Malasan menjadi pengunjung kedai kopi bernama Mitha, dan Ence Bagus memerankan office boy bernama Anas. Kelimanya terkait dan ada di tempat yang sama saat bom terjadi. Dengan alur maju mundur yang menarik, Panji dan Myrna menceritakan peristiwa Bom Thamrin secara nyaris utuh-tanpa sudut pandang pelaku atau terorisnya-dari tiap karakter. Penyusunan adegan demi adegan terbilang cukup apik. Karakter diperkenalkan satu per satu sejak awal film. Sesekali penonton diajak kembali ke kejadian serupa, namun melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Ini teknik pengerjaan film yang cukup segar di Indonesia.

Meski Panji sempat dengan tegas menyatakan 22 Menit bukan film propaganda Polri, meski ia tak menampik bahwa dirinya mengagumi lembaga pimpinan Tito Karnavian itu. Polri dikisahkan seakan tak punya cacat. Slogan Polri ‘Profesional Modern Terpercaya (Promoter)’ pun diperlihatkan secara jelas dalam film, yang menambah kesan 22 Menit propaganda Polri. Mungkin itu wajar karena Panji memang menggarap film itu terinspirasi dari kisah nyata. Ia menerangkan, 22 Menit terdiri atas sekitar 70 persen cerita nyata dan 30 persen fiksi. Namun jika karakter lebih dikembangkan, tak kebanyakan dari perspektif polisi, atau membuat petugas lebih humanis seperti Mark Wahlberg di film Patriots Day, akan menarik. Selain film “22 Menit”, setidaknya ada tiga lagi film Indonesia yang menggambarkan polisi yang dirils pada tahun 2019 yaitu:

1. Pohon Terkenal

Film ‘Pohon Terkenal’ telah tayang di bioskop pada 21 Maret 2019 lalu. Film tersebut dibintangi Umay Shahab, Laura Theux, Raim Laode, Adjis Doa Ibu, hingga Cok Simbara. Film tersebut menggambarkan cerita tentang perjuangan para taruna-taruni dalam menempuh pendidikan di Akpol. Film ini disutradarai oleh Monty Tiwa & Annisa Meutia, serta diproduksi langsung oleh Divisi Humas Polri.

2. Hanya Manusia

Film ‘Hanya Manusia’ juga telah tayang di bioskop pada 7 November 2019. Film tersebut dibintangi oleh Prisia Nasution, Yama Carlos, hingga Shenina Cinnamon. Film tersebut berkisah tentang Annisa (Prisia Nasution), seorang perwira polisi yang harus berbagi waktu antara tugas dan keluarga. Film ini ditulis oleh Rebecca M Bath, Monty Tiwa, dan Putri Hermansjah. Film tersebut menjadi debut Tepan Kobain sebagai sutradara film layar lebar.

3. Sang Prawira

Film ketiga yang bercerita tentang kepolisian selanjutnya berjudul ‘Sang Prawira’. Film tersebut telah tayang pada 28 November 2019. Film ‘Sang Prawira’ ini dibintangi oleh Anggika Bolsterli, serta sejumlah personel polri, seperti Ipda Adityo ACP, Ipda Dimas Adit S, dan Ipda M Fauzan Yonnadi. Selain itu, film tersebut menampilkan akting sejumlah pejabat. Di antaranya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Gubernur Jawa tengah Ganjar Pranowo, Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan, serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Film garapan sutradara Ponti Gea yang bekerja sama dengan Mabes Polri ini, berkisah tentang perjuangan seorang pemuda yang menjalani pendidikan kepolisian.

Nah, melalui empat film tentang polisi Indonesia di atas maka para penonton film Indonesia dan juga masyarakat umum dapay menilai sendiri kinerjia dari polisi Indonesia. Mereka mendapat gambaran yang lebih nyata dan didukung oleh peristiwa yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupannya. Semoga dapat ‘meluruskan’ gambaran yang keliru oleh film-film Hollywood. (EKS/berbagai sumber)

Exit mobile version