Ada harapan perubahan kultur berkendara yang lebih baik berkat Sistem ETLE
ETLE ini merupakan terobosan pihak kepolisian untuk membantu meningkatkan penegakan hukum yang lebih berkeadilan. Diharapkan ETEL dapat meminimalisir interaksi antara masyarakat dengan petugas yang berada di lapangan dalam penegakkan hukum serta ketertiban berlalulintas.
Jakarta, 26 Maret 2021. Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap peraturan berlalu-lintas selama ini bukan suatu rahasia lagi. Ini terlihat dari rendahnya tingkat kedisiplinan dalam berkendara sehingga melahirkan budaya tidak disiplin tidak saja dalam berlalu lintas tapi pada banyak aspek kehidupan lainnya. Akibatnya pelanggaran lalu lintas oleh pengendara motor di banyak kota besar, korban meninggal tidak sedikit dan setiap tahun selalu meningkat jumlahnya, padahal kasus-kasusnya kadang tidak terindetifikasi dengan baik. Ketidakdisiplinan masyarakat yang beragam mulai dari perilaku mengendarai kendaraan yang melebihi batas kecepatan, menerobos lampu lalu lintas, melewati marka pembatas jalan, tidak melengkapi alat keselamatan seperti helmet, spion, lampu lampu kendaraan, ketidaklengkapan surat- surat kendaraan bermotor, tidak taat membayar pajak, menggunakan kendaraan tidak layak pakai dan daftarnya pun masih panjang.
Menurut Hendratno (2009) cara pengendara yang menerabas antrian kendaraan, berkendara zigzag dengan kecepatan tinggi, menerabas lampu lalu lintas, dan melanggar rambu yang dilarang menikung merupakan beberapa perilaku yang menonojol yang dicatat sebagai budaya berkendara buruk orang Indonesia. Karena sudah dianggap lumrah sebagai kebiasaan, para penegak hukum masih sulit mengatasi masalah itu. Sementara itu, pengguna kendaraan di negara-negara maju seperti Australia secara keseluruhan sudah mampu menciptakan suatu budaya disiplin dalam tatanan kehidupan. Menciptakan budaya disiplin sebagai penunjang dalam meningkatkan kebermaknaan kehidupan sosial. Kuncinya jelas, amat ditopang dengan penggunaan teknologi yang makin canggih dari hari ke hari.
Penggunaan teknologi tersebut antara lain telah membuat pelanggaran lalu lintas yang dilakukan didasari mentalitas bahwa setiap masalah bisa diselesaikan secara “damai” bisa dikurangi, dikikis bahkan dihabisi. Penerapan teknologi telah mampu menyingkap berbagai pelanggaran tanpa harus menambah personel polisi itu sendiri. Penelitian juga memperlihatkan bahwa sikap mental dan disiplin pengguna jalan raya serta petugas lalu lintas yang meniadakan elemen ‘dapat diselesaikan di tempat dengan suap uang’ suatu hal yang terus harus dihindari. Terutama di Indonesia yang masih sering terjadi, menyuap polisi terbukti akan membuat penyelesaian masalah mereka cepat dihasilkan dibanding harus mengikuti perundang-undangan dan birokrasinya yang njlimet dan makan waktu.
Keluhan dan keterbelakangan-keterbelakangan dibanding negara lain itu, tampaknya kini sedang dalam proses diubah. Mungkin tidak berlebihan menganggap upaya penerjemahan visi dan misi dari Kapolri, Komjen Listyo Sigit dalam ETLE ini, sebagai bagian dari 16 program priotitas unggulan ini cukup revolusioner dan akan menyamai dengan situasi di luar negeri. Dua hal yang menarik perhatian masyarakat bahwa di bawah kepemimpinan Kapolri baru, petugas polisi tidak lagi dibekali senjata api, serta polisi lalu lintas yang akan fokus pada pengaturan lalu lintas dan tidak lagi melakukan tilang fisik.
Andriyan Nugroho, seorang warganegara Indonesia yang sudah lebih dari 7 tahun bermukim di Australia memberikan komentarnya, “Saya ingat waktu baru tiba di Sydney Australia dan berkenalan dengan sistem elektronik serupa yang diperkenalkan di Indonesia sekarang. Waktu itu saya smembuang puntung rokok sembarangan ke jalanan sepi jam 4 pagi yang masih gelap dan jarang ada kendaraan di Sydney. Bawah sadar, saya seperti masih di Indonesia yang belum ada sistem serupa. Denda elektronik besar yang dilayangkan itu kemudian menjadi awal munculnya kesadaran saya untuk mengadopsi pola berkendara yang sesuai dengan era modern. ”Kapolda Lampung Irjen Pol Hendro Sugiatno menaruh harapan yang besar bahwa penerapan E-TLE ini dapat merubah budaya berkendara masyarakat khususnya di kota Bandar Lampung tempatnya bertugas.
“Semoga bisa mengubah budaya kita dalam berkendara, karena sekarang ini sudah diawasi kamera,” kata Hendro. Di sini Hendro juga yakin bahwa ETLE ini merupakan terobosan pihak kepolisian untuk membantu meningkatkan penegakan hukum yang lebih berkeadilan. Diharapkan ETEL dapat meminimalisir interaksi antara masyarakat dengan petugas yang berada di lapangan dalam penegakkan hukum serta ketertiban berlalulintas.
Perubahan prilaku berkendara
Tidak saja ini mendapat komentar dari pejabat negara maupun pemerhati kepolisian di bidang lalu lintas, penerapan ini juga mendapat respon masyarakat dari berbagai lapisan dan profesi yang berbeda. Beberapa youtuber tampak menguplod tentang ini dan juga seperti tampak yang dilakukan oleh KompasTV dengan vidio berjudul akankah Tilang Elektronik akan mengubah budaya berkendara. https://www.dailymotion.com/video/x7ywmk1
Ada begitu banyak pula respon yang dilaporkan media massa dan di media sosial berbagai platform. Antara lain perbincangan pada grup-grup WhatApp, pribadi maupun grup-grup pemerhati otomotif dan lalu lintas di Facebook, Youtube, Twitter dan lain-lain. Menurut Domini Hera, aktivis, peneliti pada Pusat Penelitian Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya yang tinggal dan sering wira-wiri Malang- Yogyakarta karena pekerjaannya, kehadiran teknologi dan penggunaan ETLE untuk tertib berlalu lintas sudah terasa di kota-kota besar.
“Pertama, jelas akan memberi dampak besar pada kultur masyarakat Indonesia dalam budaya berkendara. Jadi, secara pribadi menurut saya ini sudah seharusnya. Bila tidak segera diterapkan lalu lintas akan tambah awut-awutan.” “Saya sudah sempat mendengar dari tante saya, orang Lalu Lintas di Polda Jabar yang menyatakan Polri sekarang patuh pada pesan Kapolri terutama dalam masalah laka agar tidak ruwet. Pesannya, jajarannya harus didisiplinkan.” “Karenanya saya fikir akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan berpotensi mengurangi resiko laka lintas.” Demikian imbuhnya.
Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengatakan bahwa perilaku melawan arah sudah menjadi kebiasaan atau budaya di Indonesia. “Kondisi seperti ini sudah menjadi kultur budaya tersendiri, karena ini dilakukan setiap saat, setiap hari, bahkan sampai bergenerasi. Sebabnya, bisa jadi karena adanya pembiaran,” Diharapkan budaya seperti yang dicontohkan ini akan bisa terkikis. Menurut komentar beberapa netizen di media sosial, misalnya ini akan sangat bermanfaat untuk menghapus budaya lawan arah saat berkendara yang sudah menjadi budaya di Indonesia.
Lawan arah ketika berkendara sudah lama dianggap lumrah bagi sebagian pengguna jalan. Meski negatif dan melanggar aturan lalu lintas, perilaku tersebut masih sering terjadi hingga tidak jarang berujung konflik antarsesama pengguna jalan. Kini bisa tertangkap rekamannya. Lebih jauh Hera juga menyatakan bahwa selain mengubah budaya brkendara, ini juga suatu terobosan maju karena adanta usaha sinkornisasi, yaitu menyatukan data dengan catatan sipil. “Saya optimis dengan upaya bapak Kapolri yang baru. Sepertinya ia sangat menonjolkan melakukan upaya-upaya dalam sektor integrasi antaea big data dan teknologi keamanan.” “Meskipun demikian saya juga masih bertanya-tanya apakah beliau juga memiliki pandangan terkait forensik DNA untuk pengungkapan kasus-kasus kejahatan tidak hanya yang kontemporer tapi juga kasus-kasus di masa silam?” Demikian jelasnya mempertanyakan balik.
Fungsi lain dari ETLE yakni membantu melakukan identifikasi pelaku tindak kejahataan dan pihak yang terlibat lakalantas. Karena spesifikasi kamera ETLE memungkinkam untuk melakukan identifikasi tersebut. “Bila ingin mengubah budaya dengan lebih cepat, salah satunya bisa dilakukan melalui tindakan tegas aparat penegak hukum.” Namun, menurut Jusri, cara ini baru akan efektif bila dilakukan secara terus-menerus.“Tempatkan petugas terkait di lokasi-lokasi yang sering terjadi pelanggaran lalu lintas, lakukan pengawasan khusus. Jadi jangan hanya pagi dan sore dijaga, tapi siang dan malam tidak,” katanya.
Fenomena lain adalah akan membangkitkan upaya pengendara bergabung dengan komunitas pengendara di dunia maya, untuk mendapatkan informasi. Ini adalah suatu arah yang bagus. Dalam sebuah akun twitter disebutkan: “Juga misalnya Kebiasaan baru pas bawa motor: ngecekin posisi cctv di tiap lampu merah, biar bisa ngira² di perempatan mana yg bisa diterobos biar ga kena tilang elektronik”.
Kesiapan Korlantas
Electronic Traffic Law Enforcement abbreviated (ETLE) pada dasarnya adalah sistem penegakan hukum dalam bidang lalu lintas berdasarkan teknologi informasi menggunakan alat elektronik berbentuk kamera yang dapat mendeteksi berbagai tipe dari pelanggaran lalu lintas dan displai secara otomatis dimotori data kendaraan berdasarkan Automatic Number Plate Recognition (ANPR). Masyarakat luas sejak 2018 sudah mengenalnya sebagai e-tiket atau tiket elektronik. Kapasitasnya juga terus meningkat karena penggunaan kamera yang kapasitasnya makin canggih dalam upaya mendeteksi berbagai pelanggaran seperti dalam penggunaan sabuk pengalaman, distraksi pengemudi dalam penggunaan telepon seluler dan sebagainya.
Intinya adalah layanan untuk masyarakat yang semakin mudah diterapkan karena berbasis teknologi dengan lingkungan strategis untuk memenuhi revolusi industri 4.0. Persoalan lalu lintas dan banyaknya pelanggaran serta kecelakaan selalu menjadi perhatian kepolisian di mana saja, terutama dalam pencarian solusi terbaiknya. Awalnya program ini memang untuk memenuhi keinginan dan perhatian publik agar layanan kepolisian semakin efisien, mudan dan mengurangi birokrasi. Namun demikian, tidak sedikit yang ini masih mempertanyakan kesiapan Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dalam hal ini, terutama dalam memantau aktivitas lalu lintas di Indonesia, dan utamanya juga memantau aktivitas sistem Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) alias tilang elektronik yang telah terpasang di beberapa titik di Indonesia.
Bagaimana tilang elektronik ini mengetahui pelanggaran pengendara mobil dan motor? Dan bagaimana proses yang akan dilakukan jika pengendara terkena tilang elektronik? “Kalau tidak salah di Jakarta ada 40-an titik, sedangkan di Malang 13 titik ya. Intinya, E-Tilang mulai kelihatan santer, kamera-kamera ditambahkan di banyak titik mulai dari Jakarta sampai Malang” menurut pengamatan Hera. “Kenapa baru sekarang? Sebenarnya ini sudah perlu dari dulu. Jadi justru kalau ini tidak dimulai dari sekarang bakalan terlambat nanti-nantinya.” Demikian jelasnya ketika ditanya pendapat dari sisi negatifnya. (Isk-dari berbagai sumber)